Solusi bagi peliknya urusan daging sapi jelang Idul Fitri
Minggu, 26 Maret 2023 9:13 WIB 1288
Dengan angka konsumsi 670.799 ton, berarti jumlah impor (276.761 ton) plus produksi lokal (487.802 ton) sama dengan 764.563 ton sehingga kebutuhan nasional mestinya sudah terpenuhi, bahkan surplus 93.764 ton (764.563 ton dikurangi 670.799 ton).
Jika angka konsumsi daging sapi mengacu pada Susenas BPS 2021, surplus makin besar, mengingat dengan konsumsi 2,2 kg per kapita (dengan jumlah penduduk 272,68 juta jiwa), total konsumsi menjadi 599.896 ton sehingga surplus 164.667 ton (764.563 ton dikurangi 599.896 ton).
Ironisnya, kenaikan impor daging sapi, termasuk substitusinya, yakni daging kerbau beku asal India yang jauh lebih murah (harga Bulog sekitar Rp60.000-an per kg, dibandingkan daging sapi Rp90.000-an) ternyata tidak berhasil menekan harga.
Harga eceran daging sapi yang pada 1983 sebesar Rp2.536 per kg terus merambat naik dan di awal Ramadhan 1444H saat ini atau akhir Maret 2023 sekitar Rp135.000 per kg, sementara di sejumlah pasar di ibu kota rata-rata Rp150.000, bahkan di Batam menembus angka Rp190.000 per kg.
Dibandingkan dengan laju inflasi rata-rata 8,7 persen setahun selama periode antara 1983 dan 2022, harga rata-rata daging sapi naik lebih tinggi, yakni 11,5 persen.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa demi meraup laba lebih besar, para pedagang menawarkan daging kerbau India yang teksturnya mirip dengan daging sapi pada calon pembeli. Cara lain dengan menjual daging kerbau kemasan berlabel daging sapi.
Kecurangan lain juga dilakukan para pedagang dengan menggelonggong (memberi minum sebanyak mungkin) pada sapi-sapi, beberapa jam sebelum disembelih, untuk menaikkan berat massa daging. Selain curang, cara ini juga membuat ternak tersiksa.
Tata niaga
Kepala Research Center or Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippe Ann Amanta menilai bahwa pemerintah perlu membenahi tata niaga daging sapi dengan melihat persoalan di hulu, yakni panjangnya rantai distribusi yang menjadi penyebab harga tinggi.