Jakarta (ANTARA) - Butuh waktu agak lama untuk mengetahui hasil perkalian 1.395 dan 7.556 jika dihitung secara manual, tetapi jika menggunakan kalkulator tangan, hanya butuh sepersekian detik untuk mengetahuinya.
Kini, mesin jauh lebih cerdas dari sekadar mengalkulasi angka, karena bisa juga memahami dan memproses bahasa manusia sampai kemudian melahirkan istilah "kecerdasan buatan" atau artificial intelligence (AI).
Menurut definisi hukum kecerdasan buatan di AS sejak 2020, AI adalah "sistem berbasis mesin yang bisa membuat prediksi, rekomendasi, atau keputusan yang mempengaruhi lingkungan nyata atau virtual, berdasarkan tujuan yang ditentukan manusia."
AI sebenarnya sudah dikenal sejak 1956 ketika Dartmouth College di Amerika Serikat menggelar simposium yang memprediksi mesin bisa secerdas manusia, meski waktu itu istilah AI belum dikenal.
Puluhan tahun setelah simposium itu, manakala komputerisasi, digitalisasi dan internet merambah semua aspek kehidupan, AI kian luas digunakan, terutama sejak dasawarsa pertama abad ke-21.
Orang semakin mencurahkan perhatian kepada AI setelah pembelajaran mesin berhasil diterapkan pada banyak aspek, dari dunia pendidikan sampai industri, berkat metode-metode dan aplikasi-aplikasi baru, serta kumpulan data besar yang terus membesar yang disebut "big data".
AI jelas memudahkan manusia melakukan apa saja dan membuat proses produksi serta kerja menjadi amat efisien dengan hasil konsisten bagus. Namun di balik semua ini, manusia perlahan dipinggirkan mesin.
Itu semakin terkuat setelah OpenAI yang didukung Microsoft, meluncurkan bot percakapan (chatbot) ChatGPT pada November 2022.
Chatbot adalah program komputer yang menyimulasikan percakapan manusia melalui perintah suara, obrolan teks, atau ketiganya.
Hanya dalam satu pekan pertama sejak diluncurkan, ChatGPT yang interaktif dan menjawab dengan tepat hampir semua hal yang ditanyakan manusia, sudah digunakan oleh satu juta orang.
Popularitasnya yang meroket mendorong pesaing-pesaing Microsfot mengeluarkan chatbotnya sendiri.
Namun, chatbot seperti ChatGPT juga berpotensi merugikan manusia, semata karena kecepatannya dalam menyempurnakan diri membuat peran manusia perlahan tersingkirkan.
Kecepatannya dalam berkembang dan kemampuannya untuk menjadi semakin cerdas, membuat orang mengkhawatirkan teknologi ini berkembang terlalu cepat sehingga tak bisa lagi dikendalikan.
Perlu pedoman
Dalam konteks ChatGPT, model baru LLMs (large language models) yang mentenagai chatbot-chatbot semacam ChatGPT, membuat penciptanya sendiri keheranan karena tak menyangka bakal berkembang secepat dan sejauh ini.
ChatGPT dan dilema kecerdasan buatan
Jumat, 28 April 2023 14:41 WIB 1344