ChatGPT dan dilema kecerdasan buatan
Jumat, 28 April 2023 14:41 WIB 1348
Itu baru generasi pertama, belum generasi-generasi setelahnya yang pastinya semakin disempurnakan atau menyempurnakan diri.
LLMs adalah algoritma pembelajaran mendalam (deep learning) yang bisa mengenali, meringkas, menerjemahkan, memprediksi, dan menghasilkan teks dan konten lain berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dari big data.
Model ini tak hanya membuat AI mengenali bahasa manusia, tapi juga menulis kode piranti lunak. Inilah salah satu aspek yang dikhawatirkan banyak kalangan, terutama di negara-negara Barat, termasuk Italia sempat melarang ChatGPT.
Kemampuan menulis kode piranti lunak adalah aspek yang membuat mesin bisa menghasilkan mesin lain yang lebih cerdas yang memiliki kemampuan bekerja yang tak akan pernah disamai manusia.
Di satu sisi, ini meningkatkan efisiensi, termasuk dalam proses pembuatan kebijakan di berbagai level.
Namun, teknologi selalu berkembang lebih cepat dari kemampuan manusia dalam menyadari kecepatan perkembangan teknologi. Pada tahap-tahap tertentu, ini malah membuat manusia tak bisa lagi mengendalikan teknologi.
Jika ini yang terjadi, maka apa yang digambarkan dalam film-film fiksi ilmiah semacam "Terminator", "iRobot", dan banyak lagi, mungkin bukan lagi fiksi pada suatu saat nanti.
Faktanya, sudah banyak profesi yang punah karena mesin.
LLMs seperti Google Translate misalnya, telah menggugat profesi penerjemah, selain membuat bahasa yang diajarkan di kelas-kelas menjadi ditentukan oleh siapa yang paling banyak menggunakan, bukan dari kebenaran berbahasa seperti diajarkan guru atau ahli bahasa.
Algoritma yang sifatnya memberikan rekomendasi kata atau istilah berdasarkan banyak informasi yang tersimpan dalam big data sehingga bukan didasarkan dari makna dan fungsi yang benar, membuat kebenaran itu sendiri ditentukan oleh siapa yang paling banyak menggunakan. Ini aspek lain yang membuat informasi menjadi bias dan manipulatif.
Aspek itu, dan kecenderungan manusia tersisih dari pasar tenaga kerja dan privasi pribadi yang tergerogoti akibat AI, tengah disorot sejumlah kalangan di dunia, terutama beberapa pemerintahan Barat.
Negara-negara seperti Amerika Serikat dan Singapura pun menerbitkan pedoman yang mengharuskan AI transparan, adil dan akuntabel.
Uni Eropa menerapkan aturan dampak AI terhadap privasi dan data pribadi, sedangkan China, Kanada, dan Jepang membuat pedoman etika AI dan keharusan bahwa AI digunakan serta dikembangkan secara bertanggung jawab.
Namun demikian, masyarakat global yang umumnya hanya peduli menggunakan dan memanfaatkan AI, tak berusaha sekritis itu. Pun dengan kalangan yang lebih peduli keuntungan ekonomis dari AI yang memang memiliki kemampuannya dalam menciptakan efisiensi besar-besaran dalam proses bisnis.
Mesti direm
Sebenarnya bukan negara-negara itu saja yang terusik oleh perkembangan cepat AI. Tokoh-tokoh masyarakat global pun begitu.