Denpasar (ANTARA) - Bali sudah dikenal dengan beragam budaya dan tradisinya. Perayaan hari suci pun rutin dilakukan di Bali setiap bulannya. Salah satu hari suci yang masih dilestarikan hingga kini adalah Tumpek Wayang.
Secara etimologis Tumpek Wayang berasal dari kata tumpek dan wayang. Tumpek terdiri dari suku kata “tum” dan “pek”. Tum berarti kesucian dan pek yang berarti terakhir. Jadi tumpek berarti hari suci yang berada di akhir dalam artian posisi Tumpek Wayang dalam kalender Bali berada di akhir pancawara dan saptawara.
Dari sekian banyaknya hari suci di Bali, Tumpek Wayang menjadi salah satu hari yang disakralkan oleh umat Hindu, setelah hari Kajeng Kliwon. Pernyataan tersebut dikuatkan oleh adanya lontar Kala Tattwa yang menyebutkan jika seorang anak lahir tepat pada wuku Wayang, khususnya pada hari Sabtu, Wuku Wayang, maka akan menjadi santapan (tetadahan) bhuta kala.
Pada kalender Bali hari suci Tumpek Wayang jatuh pada Saniscara Kliwon, Wuku Wayang yang datang setiap 210 hari sekali. Ada pertemuan antara tiga unsur wewaraan, yakni Sapta Wara, Tri Wara dan Panca Wara, dalam hal ini Sabtu atau Saniscara mewakili Sapta Wara diikuti oleh Kajeng mewakili Tri Wara dan Kliwon mewakili dari Panca wara. Ketiga unsur tersebut merupakan urutan terakhir pada masing masing wewaraan, sehingga Tumpek Wayang ini merupakan masa peralihan sekaligus masa penghujung dari Wuku Wayang itu sendiri. Pada tahun ini hari suci Tumpek Wayang jatuh pada tanggal 29 April 2023 dan bertepatan juga dengan Kajeng Kliwon Enyitan.
Menurut kepercayaan umat Hindu, hari suci Tumpek Wayang merupakan hari yang “tenget” atau keramat. Dikatakan keramat karena para tetua dahulu melarang anak kecil berkeliaran pada pukul 12 siang dan pukul 6 sore karena pada dasarnya waktu tersebut merupakan fase peralihan waktu dan dipercaya merupakan waktu yang keramat.
Mitologi dan sejarah
Hari suci perayaan Tumpek Wayang erat kaitannya dengan cerita Rare Kumara dan Bhatara Kala. Secara mitologi, dikutip dari lontar dan literatur kuno, Wuku Wayang merupakan hari lahirnya Kumara dan Kala yang merupakan putra dari Bhatara Siwa dan Bhatara Guru.
Kala tak suka memiliki hari lahir yang sama dengan adiknya, yaitu Kumara, maka Kala meminta izin kepada Bhatara Siwa untuk memakan Kumara. Namun permintaan Kala tidak dihiraukan oleh Bhatara Siwa.
Beberapa tahun kemudian Kala ingin memakan Kumara, tetapi Bhatara Siwa menitahkan agar Kumara pergi ke Kerajaan Kertanegara untuk berlindung. Malam harinya, Kumara sampai di pertunjukan Wayang dan meminta perlindungan kepada Sang Dalang yang berada di sana. Sang Dalang kemudian menyuruh Kumara untuk bersembunyi di sela sela gamelan gender. Singkat cerita Kala datang dan terus mengejar Kumara. Karena rasa laparnya tak tertahankan, Kala memakan semua sesajen untuk pergelaran Wayang itu. Sang Dalang pun menegur Kala agar berhenti mengejar Kumara, karena sesajen yang dimakan oleh Kala tadi diibaratkan sebagai tebusan. Merasa tak berdaya, Kala akhirnya mengurungkan niatnya dan Kumara selamat dari ancaman Kala.
Dosen Seni dan Agama STAHN Mpu Kuturan Singaraja, I Kadek Abdhiyasa M.Pd selaku Jro Mangku Dalang dan pegiat seni mengatakan dari mitologi dan sejarah tersebut dapat dikaitkan antara keberadaan Bhatara Kala dan Rare Kumara dengan jalan diruwat yang bernama "Sapuh Leger".
Dari sejarah dan mitologi tersebut dapat dianalisa bahwa orang yang lahir saat Tumpek Wayang nasibnya akan sama seperti Rare Kumara yang akan dikejar terus dengan 'Kala' atau kegelapan, dan diyakini akan banyak godaan dalam kehidupannya.