"Antusias masyarakat mungkin karena thudong. The story of thudong yang berjalan 2.600 km itu membuat hype tentang Waisak itu semakin meningkat," katanya.
Menurut Febrina, tradisi thudong merupakan salah satu hal berbeda dalam perayaan Waisak kali ini. Ia pun berharap perjalanan para bhante atau biksu ini bisa terus dilakukan pada tahun-tahun ke depan.
"Saudara-saudara kami yang beragama Buddha dalam tiga tahun ke depan akan melakukan thudong yang lebih besar lagi dan lebih jauh lagi dengan tujuan di Borobudur. Insya Allah kebiasaan baru perayaan Waisak dengan keberadaan thudong itu tetap bisa kita jalankan di tahun ke depan. Antusias masyarakat luar biasa selama mereka dalam perjalanan," katanya.
Sambutan hangat masyarakat kepada para biksu thudong hingga dukungan masyarakat untuk kelancaran perayaan Waisak, lanjutnya, juga menunjukkan toleransi tinggi dalam keberagaman Indonesia.
"Jadi, ini adalah simbol diversity di Indonesia di mana kita saling menghargai dan merayakan bersama kebahagiaan Waisak," imbuh Febrina.