Thailand kembali diintai krisis politik
Kamis, 13 Juli 2023 5:44 WIB 1048
Pita dinilai tidak memenuhi syarat mencalonkan diri pada pemilu 14 Mei karena memiliki saham perusahaan media yang di Thailand adalah pelanggaran terhadap hukum pemilu.
Pihak kedua yang menggugat Pita adalah seorang pengacara yang menilai rencana Pita dan Move Forward dalam mengamandemen undang-undang yang melarang warga negara menghina raja, sebagai langkah menggulingkan rezim pemerintahan demokratis di mana raja menjadi kepala negaranya.
Tetapi memang, Move Forward mendapatkan dukungan luas dari rakyat, karena menjanjikan agenda-agenda progresif seperti mengubah hukum yang terlalu melindungi monarki. Janji ini memikat sebagian besar rakyat. Sebaliknya, janji ini mengancam kelompok kemapanan, khususnya monarki, militer, dan kroni-kroni mereka.
Gugatan kedua mungkin bisa dimentahkan oleh Pita, tapi rekomendasi komisi pemilihan umum menjadi ancaman paling nyata bagi dia dan Move Forward.
Rekomendasi komisi pemilihan umum agar Pita didiskualifikasi, dianggap bakal melemahkan dukungan untuk politisi berusia 42 tahun itu karena, mengutip pernyataan Senator Jetn Sirathranon kepada Reuters belum lama ini, "Perdana menteri Thailand harus bermartabat dan tidak ternoda."
Bagi pendukung Pita dan Move Forward, manuver-manuver politik berbungkus hukum semacam itu lebih merupakan upaya menjegal mereka, apalagi Move Forward membawa agenda-agenda yang mengusik kelompok kemapanan.
Tentu saja para pendukung Pita, Move Forward, dan koalisi mereka tidak akan diam. Faktanya, mereka sudah berikrar untuk turun ke jalan melancarkan unjuk rasa.
Apa yang bakal terjadi saat ini seolah mengulangi krisis-krisis politik di Thailand sebelumnya, terutama dalam masa 28 tahun terakhir ini ketika kaum populis berhasil memikat perhatian bagian terbesar rakyat Thailand, sejak Thaksin Shinawatra yang bukan royalis memenangi pemilu 2005.
Namun, sejak tahun itu pula, krisis politik yang kadang merenggut nyawa yang tidak sedikit itu, senantiasa mendekorasi panggung politik Thailand.
Sebut saja krisis politik 2005–2006 yang akhirnya mendorong militer mengkudeta Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, yang kemudian mengasingkan diri ke luar negeri.
Dua tahun kemudian pada 2008, krisis politik kembali meruncing ketika Perdana Menteri Samak Sundaravej yang masih berasal dari akar yang sama dengan Thaksin Shinawatra, berseteru dengan Aliansi Rakyat untuk Demokrasi yang promonarki dan militer.
Setahun kemudian pada 2009 dan 2010, pecah lagi krisis yang kali ini menimpa pemerintahan dukungan monarki dan militer, Abhisit Vejjajiva.
Pada 2013–2014, giliran pemerintahan Yingluck Shinawatra diamuk krisis, akibat gerakan protes yang dilancarkan kelompok promonarki dan militer. Yingluck mundur untuk memberi jalan kepada Niwatthamrong Boonsongpaisan menjadi perdana menteri caretaker yang akhirnya tumbang oleh campur tangan militer pimpinan Prayut Chan-o-cha.
Prayut sendiri tak lepas dari krisis, terutama pada 2020–2021, yang akibat lebih jauhnya adalah mendepopularasi partai-partai pemerintah, sampai kemudian Move Forward memenangi pemilu 14 Mei 2023.
Bayang-bayang krisis
Masih menjadi pertanyaan apakah Move Forward bakal selamat dari bayang-bayang krisis saat ini. Namun demikian, Pita yakin bakal didukung luas oleh parlemen untuk menjadi perdana menteri baru Thailand.