Undang-undang ini, yang disetujui oleh parlemen, melarang penggunaan "pakaian asing" termasuk hijab. Sebagai gantinya, warga didorong untuk mengenakan pakaian nasional Tajik.
Pelanggar aturan ini siap-siap menghadapi denda besar hingga 57.600 somoni (sekitar Rp88,45 juta) bagi pelanggar dari kalangan tokoh agama. Sementara pelanggar dari warga biasa akan didenda 7.920 somoni Tajikistan (Rp12,1 juta) dan 54.000 somoni (Rp82,9 juta) untuk pejabat pemerintah.
Regulasi itu telah disahkan Majlisi Milli, parlemen Tajikistan, pada Kamis (20/6), demikian dilaporkan Euro News.
Baca juga: Tips nyaman berhijab sepanjang hari
Baca juga: Isu hijab di India merembet ke negara bagian lainnya
Memerangi Ekstremisme
Langkah tersebut tidak datang tiba-tiba. Presiden seumur hidup Emomali Rahmon, yang berkuasa sejak 1994, sudah lama fokus pada apa yang ia sebut sebagai memerangi ekstremisme. Sejak 1997, setelah kesepakatan damai untuk mengakhiri perang saudara, Rahmon telah mendorong serangkaian undang-undang untuk mengontrol pengaruh agama.
Bahkan, sejak 2009, hijab telah dilarang di lembaga-lembaga publik seperti universitas dan gedung pemerintah. Kini, dengan undang-undang baru ini, pemerintah ingin memperketat kontrol dengan alasan melindungi budaya nasional.
Tak hanya hijab, banyak masjid diubah menjadi kedai teh dan pusat kesehatan. Anak-anak juga dilarang mengumpulkan uang saku pada hari raya Idul Fitri, sebuah tradisi berabad-abad yang dikenal sebagai "iydgardak."
Mengapa langkah drastis ini diambil? Pemerintah menyebutkan serangan mematikan di Crocus City Hall di Moskow pada bulan April sebagai pemicunya. Empat penyerang yang ditangkap diketahui memiliki paspor Tajikistan, memicu kekhawatiran tentang ekstremisme yang diimpor.
Meskipun langkah ini mendapat kritik, Rahmon teguh pada pendiriannya. "Jangan lupakan budaya Anda sendiri," katanya. Namun, tindakan ini menimbulkan pertanyaan: Apakah melarang hijab adalah cara terbaik untuk melindungi nilai-nilai budaya?
Baca juga: Tips rintis bisnis hijab merek sendiri
Baca juga: Dress hingga hijab, pebulutangkis putri bebas berpakaian di Olimpiade
Nasib Hijab di Eropa: Larangan dan Kontroversi
Bagaimana dengan negara-negara lain? Di Eropa, hijab menjadi perdebatan panas. Dari Prancis hingga Italia, berbagai negara memiliki aturan berbeda tentang penggunaan hijab. Namun, banyak yang berpendapat bahwa melarang hijab justru bisa meminggirkan komunitas Muslim.\
Politisi sayap kanan Belanda, Geert Wilders, yang partainya baru-baru ini membentuk pemerintahan setelah meraih kemenangan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam pemilihan umum, telah lama mengusulkan larangan hijab sebagai bagian dari serangkaian tindakan anti-Islam yang lebih besar, termasuk larangan terhadap kitab suci Muslim, Al-Quran, dan imigrasi non-Barat.
Pada tahun 2004, Prancis memperkenalkan undang-undang yang melarang pemakaian "simbol atau pakaian yang secara mencolok menunjukkan afiliasi keagamaan siswa," termasuk hijab, di sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas negeri, tetapi tidak di universitasnya.
Undang-undang serupa disahkan di Austria pada tahun 2017, melarang kerudung di sekolah untuk anak-anak hingga usia 10 tahun, dengan orang tua menghadapi denda potensial sebesar 440 Euro (Rp7,7 juta) jika mereka memilih mengirim anak-anak mereka ke sekolah dengan mengenakan hijab.
Baca juga: Deretan gaya hijab populer tahun 2021
Baca juga: Muhammadiyah apresiasi Filipina tetapkan 1 Februari Hari Hijab Nasional
Italia telah melarang pakaian renang mirip hijab, yang juga dikenal sebagai "burkini," dari kolam renang dan pantainya sejak 2009. Beberapa kasus wanita yang didenda atau dilarang berenang atau berjemur di tempat umum telah menyebabkan kegemparan dalam beberapa tahun terakhir, terutama di bagian utara negara itu.
Selain itu, Jerman, Belgia, Norwegia, dan Bulgaria semuanya memiliki undang-undang yang melarang penggunaan pakaian yang menutupi wajah, yang dikenal sebagai burqa, di sekolah atau lembaga publik.
Para penentang undang-undang semacam itu berpendapat bahwa melarang hijab, terutama di negara-negara sekuler, adalah jalan licin yang mungkin membuat komunitas Muslim di Eropa terpinggirkan di kemudian hari.
Sementara itu, beberapa negara mayoritas Muslim telah melarang burqa dan hijab di sekolah umum, universitas, atau gedung pemerintah, termasuk Tunisia (sejak 1981, sebagian dicabut pada 2011), Kosovo (sejak 2009), Azerbaijan (sejak 2010), Kazakhstan, dan Kirgistan.