Sejak Piala Thomas dimulai pada 1949 (sudah berlangsung 26 kali), tim Merah Putih tampil sebagai pemenang 13 kali, disusul China delapan kali dan Malaysia lima kali. Indonesia sebagai runner-up empat kali dan semi finalis empat kali dan urutan ketiga sekali.
Sementara pada Rabu malam, Jepang menggulung Taufik Hidayat dan kawan-kawan 3-2 pada babak perempat final Piala Thomas 2012 yang berlangsung di Kompleks Gedung Olahraga Wuhan, China.
Pada tunggal awal, Simon Santoso mengalahkan Sho Sasaki 22-20, 21-14 dan pada laga berikutnya Taufik Hidayat dikalahkan atlet muda yang mengidolakannya, Kenichi Tago 12-21, 17-21. Dionysius Hayom Rumbaka kalah atas Takuma Ueda 14-21, 19-21.
Di partai ganda, Markis Kido/Hendra Setiawan lawan Noriyasu Hirata/Hirokatsu Hashimoto berkesudahan dengan angka 16-21, 18-21 dan di partai ganda kedua, Muhammad Ahsan/Alvent Yulianto menang atas Hiroyuki Endo/Kenichi Hayakawa 21-17, 21-13.
Masyarakat penggandrung bulu tangkis di Tanah Air tentu kecewa, seperti kecewanya Taufik Hidayat yang kalah atas pemain yang sebetulnya mengidolakannya. ¿Kalau kalah atas pemain muda Indonesia saya gembira, tapi saya tidak gembira dikalahkan pemain muda Jepang,¿ katanya mengomentari pertemuan mereka pertama itu.
Di bagian puteri, perebutan Piala Uber, yang diadakan sejak 1956 (sudah 29 kali), gelar juara diborong China sebanyak 11 kali, disusul Jepang (5), Indonesia (3), Amerika Serikat (3), Denmark (3), Inggris (2), Korea Selatan (1) dan Belanda (1). Di bagian ini, para Srikandi Tanah Air menang terakhir kali pada 1996.
Di semi final Rabu malam, para pemain puteri Indonesia menyerah di tangan pemain Jepang, dengan angka 2-3. Di tunggal pertama, Maria Febe Kusumastuti kandas ketika menghadapi Sayaka Sato dengan angka 14-21, 10-21, tapi Adrianti Firdasari menyamakan kedudukan ketika menang atas Eriko Hirose 21-13, 22-20, 21-14.
Tunggal ketiga Lindaweni Fanetri angkat tangan ketika bertemu dengan Minatsu Mitani dengan angka 21-19, 13-21, 17-21, kemudian di partai ganda Greysia Polii/Meiliana Jauhari kalah atas Mizuki Fujii/Reika Kakiiwa 18-21, 21-15, 19-21 dan ganda kedua Anneke Feinya Agustin/Nitya Krishinda Maheswari menang atas Mami Naito/Shizuka Matsuo 2-0 (21-11, 21-17).
Sampai akhir pertandingan perempat final Rabu tengah malam, dipastikan tim yang maju ke semi final pada perebutan Piala Thomas adalah China yang akan berhadapan dengan Jepang dan Denmark bertemu dengan Korea Selatan. Pada Piala Uber, Korea Selatan menjajal kekuatan Jepang dan juara bertahan China melawan Thailand.
Titik nadir
Pada turnamen Piala Thomas 2012, Indonesia berada pada titik nadir, tumbang di perempat final, sehingga menimbulkan berbagai komentar dari kalangan yang berkelayakan.Tim puteri Jepang dengan semangat "bushido" -nya, pernah meraih gelar juara lima kali, sedangkan tim putera Jepang yang belum pernah meraih gelar juara, kini menjadi tim yang harus diperhitungkan.
Atlet yang pernah meraih gelar juara turnamen All England delapan kali, Rudy Hartono, memberikan komentar penting atas kekalahan tim Indonesia itu.
Ia menilai, salah satu faktor kekalahan tim Indonesia adalah kurang primanya para pemain, dan PB PBSI pun dinilai kurang jeli dalam menjaga stamina pemain.
"Tak semua pemain yang masuk line up dalam performa terbaik sehingga lawan bisa melihat celah ini," kata Rudi seperti disiarkan dalam laman Harian Detik.
Selain faktor tersebut, Rudi juga menyuarakan pendapatnya terkait melorotnya prestasi pemain tim Thomas-Uber yang terakumulasi di ajang kali ini. "PBSI memberikan gaji dan bonus kepada pemain terlalu tinggi. Sehingga tak fokus saat bertanding," kata Rudi.
Ia pun menyarankan agar PB PBSI mulai menyusun kembali nominal gaji pemain, juga pelatih. "Seharusnya ada rasionalisasi gaji," lanjutnya.
Mantan pemain handal ini juga menilai pentingnya aspek pembinaan sejak usia dini, agar ada regenerasi pemain masa depan, agar citra bulutangkis Indonesia yang pernah bersinar di mata dunia, kembali bercahaya.
Rudy menegaskan peran orangtua juga sangat penting untuk mendorong keberhasilan pembinaan sejak usia dini tersebut. "Dukungan orangtua sangat diperlukan. Orangtua akan mengarahkan dan mendorong atlet untuk jauh lebih baik dibandingkan jika atlet itu tidak didukung orangtuanya," kata Rudy yang juga sebagai anggota Dewan Pengawas Yayasan Olahragawan Indonesia (YOI) itu.
"Kalau gagal begini siapa yang mau disalahkan atau dimintai pertanggungjawabannya?. Ini tanggung jawab bersama terutama pengurus PBSI," kata Rudi.
Ketua Umum PB PBSI Djoko Santoso mengutarakan penyesalannya atas kegagalam kedua tim Merah Putih itu.
"Saya meminta maaf kepada masyarakat Indonesia karena harus menanti lebih lama lagi Piala Thomas dan Uber. Saya tegaskan untuk mengevaluasi bersama-sama," ujar Djoko Santoso kepada media di Wuhan.
Ia juga menilai, sebenarnya persiapan para pemain tim Thomas-Uber Indonesia sudah maksimal tapi lawan yang dihadapi ternyata lebih tangguh.
"Kalau dirunut persiapan sudah optimal. Ada dukungan motivasi, gizi dan latihan serta kompetisi sudah bagus. Jujur lawan lebih bagus," sebutnya.
Menpora Andi Mallarangeng pun mengeluarkan komentarnya, dengan menyebutkan PB PBSI selaku penanggung jawab pengembangan bulutangkis Indonesia harus melakukan pembenahan terutama regenerasi.
"Kita prihatin dengan kekalahan tim Piala Thomas. Ini harus menjadi pengingat buat PBSI," ujar Menpora. "Olahraga bulutangkis sudah berkembang ke seluruh dunia, negara lain semakin maju. Kita harus berbenah dalam hal pembinaan terutama pada usia dini."
"Kita harus bangkit dan menjadi yang terbaik di dunia. Di depan ada Olimpiade. Segeralah fokus untuk merebut emas Olimpiade. Kalau kita sudah tekadkan, lalu dijalankan dengan sungguh-sungguh, Indonesia bisa!" ujarnya seperti disiarkan di media tersebut.
Regu Piala Thomas Indonesia terakhir kali merebut piala turnamen elit itu pada 2002, sebelum China berurutan merebut dan mempertahankannya pada empat turnamen berikutnya sedangkan di bagian puteri, piala itu diboyong ke Tanah Air pada 1975, 1994 dan 1996, kemudian tujuh kali menempati urutan kedua pada 1969, 1972, 1978, 1981, 1986, 1998 dan 2008.
Kiprah tim Merah Putih sebagai penjaga supremasi tertinggi di cabang olahraga ini, memang sudah luntur, dengan sebab amat kompleks, sementara negara lain yang pelatihnya bahkan ada yang dari Indonesia, semakin menanjak prestasinya.
Setiap tim kalah bertanding di luar negeri, para pengurus pasti mengatakan akan diadakan evaluasi, tapi setelah itu entah bagaimana kelanjutannya, dan apakah kemajuan atlet asing juga dievaluasi?
Evaluasi itu tidak selayaknya hanya tertata di atas kertas, karena Indonesia sudah berada pada titik nadir dan sejarah sudah menoreh hasil buruk di Wuhan. (T.A008/A016)