Pakar nilai revisi UU Pilkada akan cacat hukum kronis
Kamis, 22 Agustus 2024 6:28 WIB 698
Jakarta (ANTARA) - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) W. Riawan Tjandra menilai revisi UU Pilkada yang dipaksakan oleh Badan Legislasi DPR RI akan membuat aturan tersebut cacat hukum kronis dan batal lantaran tak sesuai dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.
"Secara hukum, jika DPR memaksakan merevisi UU Pilkada, UU itu cacat hukum kronis dan batal demi hukum karena bertentangan dengan UUD Negara RI 1945," kata Riawan saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Rabu.
Selain itu, dia mengatakan revisi UU Pilkada dapat menjadi pintu masuk gerakan rakyat di jalanan secara meluas.
Hal itu disebabkan oleh DPR dan pemerintah yang dikendalikan rezim politik sudah berada di ujung akhir masa jabatan bersikap plin-plan dalam merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasalnya, terdapat perlakuan yang berbeda antara Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka.
Sementara putusan MK Nomor Nomor 60/PUU/XXII/2024 mengubah ambang batas pencalonan partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusung pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.
Menurutnya, apabila pemerintah dan DPR tidak hati-hati dan bijak gerakan rakyat yang akan terjadi bisa menumbangkan pemerintahan sebelum Oktober.
Ia juga tak menutup kemungkinan akan timbul ketidakpercayaan publik terhadap calon presiden dan wakil presiden terpilih.
Hal itu diperparah dengan menurunnya kesejahteraan masyarakat sementara proyek mercusuar Ibu Kota Nusantara (IKN) telah melemparkan rakyat dan negara ke dalam akselerasi jerat hutang luar negeri.
"Hal ini berbahaya bagi eksistensi rezim pemerintah yang baru bulan Oktober melakukan peralihan kekuasaan," ujarnya.
Sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan pemerintah setuju melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 atau RUU Pilkada pada rapat paripurna DPR terdekat guna disahkan menjadi undang-undang.
Persetujuan itu disepakati dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada Badan Legislasi DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.
Delapan fraksi di Baleg DPR RI menyatakan setuju terhadap pembahasan lebih lanjut RUU Pilkada. Delapan fraksi itu meliputi Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Demokrat, Fraksi Golkar, Fraksi PKS, Fraksi NasDem, Fraksi PAN, Fraksi PKB, dan Fraksi PPP, sedangkan Fraksi PDI Perjuangan menyatakan menolak pembahasan RUU Pilkada untuk diundangkan.
Sementara itu, pemerintah yang diwakili Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyampaikan persetujuan agar RUU Pilkada diparipurnakan.
Terdapat dua materi krusial RUU Pilkada yang disepakati dalam Rapat Panja RUU Pilkada ini.
Pertama, terkait penyesuaian Pasal 7 UU Pilkada terkait syarat usia pencalonan sesuai dengan putusan Mahkamah Agung (MA).
Pasal 7 ayat (2) huruf e, disepakati berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur, serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih.
Padahal, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024, menegaskan bahwa penghitungan syarat usia calon kepala daerah harus terhitung sejak penetapan pasangan calon, bukan saat pasangan calon terpilih dilantik menjadi kepala daerah.
Kedua, soal perubahan Pasal 40 UU Pilkada terkait ambang batas pencalonan kepala daerah, dengan mengakomodasi hanya sebagian putusan MK.
"Secara hukum, jika DPR memaksakan merevisi UU Pilkada, UU itu cacat hukum kronis dan batal demi hukum karena bertentangan dengan UUD Negara RI 1945," kata Riawan saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Rabu.
Selain itu, dia mengatakan revisi UU Pilkada dapat menjadi pintu masuk gerakan rakyat di jalanan secara meluas.
Hal itu disebabkan oleh DPR dan pemerintah yang dikendalikan rezim politik sudah berada di ujung akhir masa jabatan bersikap plin-plan dalam merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasalnya, terdapat perlakuan yang berbeda antara Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka.
Sementara putusan MK Nomor Nomor 60/PUU/XXII/2024 mengubah ambang batas pencalonan partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusung pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.
Menurutnya, apabila pemerintah dan DPR tidak hati-hati dan bijak gerakan rakyat yang akan terjadi bisa menumbangkan pemerintahan sebelum Oktober.
Ia juga tak menutup kemungkinan akan timbul ketidakpercayaan publik terhadap calon presiden dan wakil presiden terpilih.
Hal itu diperparah dengan menurunnya kesejahteraan masyarakat sementara proyek mercusuar Ibu Kota Nusantara (IKN) telah melemparkan rakyat dan negara ke dalam akselerasi jerat hutang luar negeri.
"Hal ini berbahaya bagi eksistensi rezim pemerintah yang baru bulan Oktober melakukan peralihan kekuasaan," ujarnya.
Sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan pemerintah setuju melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 atau RUU Pilkada pada rapat paripurna DPR terdekat guna disahkan menjadi undang-undang.
Persetujuan itu disepakati dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada Badan Legislasi DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.
Delapan fraksi di Baleg DPR RI menyatakan setuju terhadap pembahasan lebih lanjut RUU Pilkada. Delapan fraksi itu meliputi Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Demokrat, Fraksi Golkar, Fraksi PKS, Fraksi NasDem, Fraksi PAN, Fraksi PKB, dan Fraksi PPP, sedangkan Fraksi PDI Perjuangan menyatakan menolak pembahasan RUU Pilkada untuk diundangkan.
Sementara itu, pemerintah yang diwakili Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyampaikan persetujuan agar RUU Pilkada diparipurnakan.
Terdapat dua materi krusial RUU Pilkada yang disepakati dalam Rapat Panja RUU Pilkada ini.
Pertama, terkait penyesuaian Pasal 7 UU Pilkada terkait syarat usia pencalonan sesuai dengan putusan Mahkamah Agung (MA).
Pasal 7 ayat (2) huruf e, disepakati berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur, serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih.
Padahal, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024, menegaskan bahwa penghitungan syarat usia calon kepala daerah harus terhitung sejak penetapan pasangan calon, bukan saat pasangan calon terpilih dilantik menjadi kepala daerah.
Kedua, soal perubahan Pasal 40 UU Pilkada terkait ambang batas pencalonan kepala daerah, dengan mengakomodasi hanya sebagian putusan MK.