Jakarta (ANTARA) - Memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP) tahun ini, perhatian difokuskan pada perlindungan hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) bagi Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia (PPHAM). Kampanye yang berlangsung dari 25 November hingga 10 Desember ini menyerukan langkah konkret untuk melindungi PPHAM dari berbagai ancaman dan kekerasan.
Koordinator Perempuan Pembela HAM (PPHAM) Bengkulu, Joti Mahulfa, dalam siaran pers yang diterima di Bengkulu, Senin, mengatakan PPHAM sering menghadapi berbagai tantangan, mulai dari kekerasan fisik hingga kriminalisasi yang berbasis gender. Hal ini diperparah oleh lemahnya perlindungan hukum dan budaya patriarki yang masih kuat.
“Perempuan Pembela HAM adalah garda depan dalam memperjuangkan hak asasi manusia, tetapi mereka justru menjadi sasaran kekerasan dan kriminalisasi. Salah satu yang sering terjadi adalah eksploitasi identitas gender dan stigma sosial yang menyerang kredibilitas mereka,” kata dia.
Menurutnya, data dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa selama 2015–2021, terdapat 87 kasus kekerasan terhadap PPHAM di Indonesia. Di antara kasus tersebut, 15 di antaranya merupakan kriminalisasi yang terjadi dalam periode 2018–2021.
“Kondisi ini mencerminkan bahwa belum ada regulasi khusus yang melindungi PPHAM secara efektif. Kita membutuhkan aturan yang jelas, termasuk sanksi tegas bagi pelaku kekerasan terhadap PPHAM, baik individu maupun instansi,” lanjut Joti.
Joti juga menyoroti pentingnya pemenuhan hak ekosob untuk mendukung keberlanjutan perjuangan PPHAM. Ia menegaskan bahwa tanpa dukungan hak ekosob, PPHAM akan terus berada dalam posisi rentan, baik secara finansial maupun keamanan pribadi.
“Pemenuhan hak ekosob tidak hanya mendukung perjuangan mereka, tetapi juga memastikan perlindungan terhadap hak-hak perempuan yang lebih luas. PPHAM berjuang bukan hanya untuk perempuan, tetapi juga untuk keadilan dan kemanusiaan secara keseluruhan,” ujar Joti.
Kampanye 16HAKTP tahun ini juga menyerukan kepada pemerintah untuk segera membentuk regulasi khusus yang melindungi PPHAM, termasuk peraturan turunan dari undang-undang yang mengatur hak asasi manusia. Selain itu, kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan aktivis penggiat literasi media juga dinilai penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai peran PPHAM.
“Kami berharap pemerintah dapat segera bertindak. Selain regulasi, literasi media juga harus digalakkan agar masyarakat lebih memahami pentingnya peran PPHAM. Jangan sampai mereka yang berjuang untuk keadilan justru menjadi korban kekerasan,” katanya.