Jakarta (ANTARA) - Pakar Kebijakan Publik UPN Jakarta Achmad Nur Hidayat memandang usulan Anggota Komisi IX DPR untuk membiayai Program Makan Bergizi Gratis akan memunculkan sejumlah masalah mendasar.
Achmad Nur Hidayat di Jakarta, Sabtu, mengatakan bahwa menggunakan dana cukai rokok untuk mendanai program gizi bagi anak-anak menghadirkan kontradiksi moral yang sulit diabaikan.
Pasalnya rokok, yang menjadi sumber dana dalam skema ini, merupakan salah satu penyebab utama berbagai masalah kesehatan di Indonesia, termasuk penyakit paru-paru, jantung dan kanker.
“Mengandalkan dana cukai rokok, pemerintah secara tidak langsung mendukung konsumsi rokok untuk membiayai program yang bertujuan meningkatkan kesehatan generasi muda. Hal ini dapat dianggap sebagai langkah yang inkonsisten dengan upaya pemerintah untuk menekan angka perokok, terutama di kalangan anak-anak dan remaja,” ujar Achmad kepada ANTARA.
Sebagaimana diketahui, Anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani mengusulkan agar pembiayaan implementasi Program MBG didanai dengan cukai rokok.
"Untuk Makan Bergizi Gratis, saya usul ambil dari cukai rokok saja. Sudah, selesai. Cukai rokok per tahun Rp150 triliun," kata Irma dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat (17/1).
Hal tersebut dia sampaikan untuk menanggapi usulan pembiayaan Program Makan Bergizi Gratis diambil dari zakat. Irma menyatakan tidak sepakat dengan usulan tersebut. Menurut dia, penggunaan zakat sudah diatur secara jelas peruntukannya.
Menanggapi hal itu, Achmad menjelaskan bahwa dengan pendapatan cukai rokok yang mencapai Rp150 triliun per tahun, solusi ini memang tampak sederhana dan praktis untuk menutup kekurangan anggaran program MBG yang diproyeksikan membutuhkan dana hingga Rp420 triliun. Namun, sebaiknya pemerintah mempertimbangkan ulang usulan tersebut.
Achmad juga mengingatkan bahwa ketergantungan pada cukai rokok sebagai sumber pendanaan menghadirkan risiko besar bagi keberlanjutan program MBG.
Pendapatan cukai rokok tidak stabil dan cenderung menurun seiring keberhasilan kebijakan pengendalian tembakau. Apabila pemerintah terlalu bergantung pada dana ini, keberlangsungan program MBG di masa depan bakal bisa terancam.
“Sebagai program yang bertujuan untuk meningkatkan status gizi nasional, MBG membutuhkan sumber pendanaan yang stabil dan dapat diproyeksikan dengan akurat. Ketergantungan pada cukai rokok akan menciptakan ketidakpastian finansial yang berisiko menghambat pelaksanaan program, terutama di masa depan ketika beban gizi buruk dan stunting masih menjadi masalah besar di Indonesia,” jelasnya.
Lebih lanjut, Achmad juga mengkritisi usulan tersebut sebagai langkah reaktif yang hanya menutupi masalah struktural dalam pengelolaan anggaran negara.
Menurutnya, daripada mengandalkan cukai rokok, pemerintah perlu fokus pada solusi yang lebih berkelanjutan, seperti optimalisasi belanja negara dan reformasi perpajakan.
“Ini termasuk memperbaiki sistem perpajakan, meningkatkan efisiensi belanja negara, dan meminimalkan kebocoran anggaran. Pendekatan ini, pemerintah dapat memastikan bahwa program MBG memiliki landasan finansial yang kokoh tanpa perlu bergantung pada sumber pendanaan yang kontroversial seperti cukai rokok,” tuturnya.
Achmad menambahkan bahwa menggunakan cukai rokok untuk program sosial seperti MBG dapat memberikan pesan yang salah kepada masyarakat.
Sebab, pemerintah yang seharusnya mendorong gaya hidup sehat justru terkesan mendukung konsumsi rokok sebagai sumber pendanaan. Ini dapat merusak kredibilitas kebijakan kesehatan dan sosial.
Sebagai alternatif, Achmad menyarankan pemerintah untuk mencari sumber pendanaan lain yang lebih konsisten dengan visi kesehatan masyarakat.
Opsi pertama dengan optimalisasi dana APBN. Pemerintah dapat mengalokasikan kembali dana dari pos-pos anggaran yang kurang mendesak untuk mendukung MBG.
Dengan meningkatkan efisiensi belanja negara dan mencegah kebocoran anggaran, pemerintah dapat menciptakan ruang fiskal yang lebih besar untuk program ini.
Kedua, dengan peningkatan penerimaan pajak. Reformasi perpajakan yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan dan memperluas basis pajak dapat memberikan tambahan penerimaan negara yang signifikan.
Dengan demikian, pemerintah dapat membiayai MBG tanpa perlu bergantung pada dana dari sektor yang kontroversial.
“Ketergantungan pada cukai rokok tidak hanya menciptakan kontradiksi dalam kebijakan kesehatan, tetapi juga mengancam keberlanjutan program dalam jangka panjang. Sebagai gantinya, pemerintah harus fokus pada solusi yang lebih holistik dan konsisten dengan visi pembangunan nasional yang sehat dan berkelanjutan,” terang Achmad.