Ada Bummo (Lee Sung Min) yang menghabiskan waktu dengan mabuk karena stres belum mendapat pekerjaan baru. Kelakuannya membuat sang istri, Ara (Yeom Hye Ran), kesal bukan main. Ara, seorang aktris teater, merindukan sosok suami yang dulu merebut hatinya. Interaksi antara aktris ekspresif dan emosional dengan maniak analog sungguh menghibur.
Pesaing berat lainnya adalah Sijo (Cha Seung Won). Tidak seperti Bummo yang malas-malasan, Sijo bekerja sebagai staf di toko sepatu untuk menghidupi putrinya. Ia bekerja keras demi mendapatkan komisi agar bisa menyambung hidup. Ketulusan Sijo saat bekerja sedikit mengingatkan kepada karakter yang Cha Seung Won perankan dalam serial omnibus “Our Blues”, yang berorientasi kepada keluarga.
Man-su turut bersimpati melihat kehidupan pesaingnya, tapi di sisi lain ia merasa hidupnya juga tak kalah prihatin. Dia juga berusaha menciptakan lowongan sendiri saat menemui manajer lini Moon Paper, Sun-chul (Park Hee Soon), yang sempat mempermalukannya.
Ketika akal sehatnya menghilang, Man-su tidak serta merta berubah menjadi pembunuh berdarah dingin. Ia digambarkan sangat realistis sebagai orang nekat yang nasibnya di ujung tanduk. Kekikukannya berhasil mengundang tawa, termasuk dalam pertarungan penuh kekacauan dengan Bummo dan Ara.
Lee Byung-hun tampil meyakinkan sebagai bapak-bapak canggung. Penampilannya sungguh berbeda dari Front Man, sosok sadis dan berdarah dingin, dalam serial “Squid Game” yang populer secara global, atau tentara tangguh nan memesona di serial “Mr. Sunshine”.
Son Ye Jin juga berhasil memerankan sosok istri dan ibu yang harus menjadi pilar keluarga ketika sang suami sedang didera masalah. Akting dari karakter-karakter pendukung, yang mungkin sudah familier bagi para pencinta drama Korea, juga tak kalah bagus.
Visual cantik dari sutradara Park Chan-wook tentu saja masih terasa di film ini. Perasaan kagum yang muncul saat menonton “Decision to Leave” kembali. Ada beragam wide shot yang indah dari sisi kombinasi dan warna. Kamera tetap statis, hanya karakter yang sibuk bergerak mengisi ruang.
“No Other Choice” diangkat dari novel horor thriller “The Ax” dari penulis Donald E. Westlake. Sebelum diadaptasi oleh sutradara Park Chan-wook, novel ini sudah menjadi inspirasi dari film “The Axe” dari sutradara Costa-Gavras yang dirilis pada 2005.
Bagi penonton yang tidak familier dengan novelnya, rasanya menyenangkan untuk mengikuti alur film dan menunggu seperti apa akhir dari usaha Man-su untuk kembali ke dunia yang ia cintai.
Ketika novelnya dirilis pada 1997, digitalisasi belum masif. Kertas masih menjadi primadona.
Saat latar belakangnya diubah menjadi masa kini, hampir tiga dekade dari versi bukunya terbit, alasan di balik pemecatan Man-su terasa semakin kuat.
Kemajuan teknologi membuat banyak pekerjaan bisa digantikan dengan mesin, apalagi di industri kertas di zaman serba digital. Meski puluhan tahun berlalu, kegelisahan Man-su masih relevan. Menurut Park Chan-wook, yang dirasakan Man-su juga pernah ia alami sebagai seorang sineas. Setelah mengerjakan sebuah proyek film, belum tentu ada jaminan dia bisa memproduksi proyek selanjutnya secepat kilat. Kadang ia menganggur sampai berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Bagi penonton di Indonesia, isu yang diangkat juga terasa dekat, sebab masalah kesulitan mencari pekerjaan pun masih terjadi di negara ini.
