Jakarta (Antara) - Kelompok kerja organisasi nonpemerintah untuk hak asasi manusia, Human Right Working Group (HRWG), menyatakan Indonesia perlu membentuk kaukus diplomasi permanen, baik di level pemerintahan maupun parlemen, guna menyikapi kekerasan yang terus berlanjut terhadap etnis Rohingya,
Di sisi yang lain, kerja sama militer yang telah dilakukan oleh Indonesia dan sejumlah negara lain juga harus menjadi saluran diplomasi untuk menekan militer Myanmar menghentikan serangan dan kekerasan kepada Rohingya, demikian disampaikan Direktur Eksekutif HRWG Muhammad Hafiz dalam siaran pers yang diterima Antara, Senin.
HRWG mencatat bahwa sejumlah inisiasi telah dilakukan oleh komunitas internasional, regional, dan pelbagai pihak untuk menghentikan kekerasan terhadap Rohingya. Sayangnya, inisiasi-inisiasi itu tidak kunjung menghentikan aksi aksi kekerasan terhadap Rohingya.
Gagalnya sejumlah inisiasi ini di antaranya memang masih belum selesainya reformasi sektor keamanan di negara tersebut karena militer masih mencengkeram kuat secara politik. Akibatnya, tidak jarang inisiasi yang dilakukan oleh Pemerintah mengalami kebuntuan dan bahkan reaksi brutal dari pihak militer.
Dalam tim penasihat yang dibentuk oleh Aung San Suu Kyi dengan Kofi Annan Foundation, misalnya, telah ada sejumlah komitmen dan upaya yang dihasilkan, di antaranya adalah tim penasihat ini sudah menghasilkan rekomendasi pada 24 Agustus 2017 untuk dijalankan oleh Pemerintah, baik terkait dengan diskriminasi, hak kewarganegaraan, maupun layanan publik seperti kesehatan dan pendidikan bagi penduduk minoritas di negara bagian Rakhine.
Tapi nyatanya, bukannya direspons positif oleh militer, beberapa hari setelah itu kekerasan justru terjadi kepada etnis Rohingya dengan alasan untuk melumpuhkan pasukan bersenjata yang menyerang terlebih dahulu.
HRWG memandang bahwa terdapat friksi yang cukup kuat di dalam pemerintahan di Myanmar yang menyebabkan konflik dan kekerasan terus berlanjut. Untuk itu pula, upaya diplomasi yang dilakukan harus mengarah pada dua level itu, dengan melibatkan semua pihak.
Hampir semua inisiasi yang terjadi ditolak oleh Myanmar, mulai dari PBB, Organisasi Kerjasama Islam (OKI), maupun inisiasi internasional lainnya.
Di level ASEAN, hanya pemerintah Indonesia yang bisa meyakinkan Myanmar untuk terlibat dalam Informal ASEAN Foreign Ministers Retreat di Myanmar pada 18 Desember 2016 dan merupakan langkah awal bagi Pemerintah Indonesia untuk melanjutkan diplomasi yang lebih efektif, dengan mengajak negara-negara di luar ASEAN, eksekutif, legislatif, maupun militer, untuk mencegah terjadinya kekerasan baru.
Dalam hal ini pula, HRWG memandang perlu bagi pemerintah Indonesia untuk membuat aliansi global di antara pemerintah pemerintah di dunia, selain proses formal yang telah berlangsung di PBB, untuk menekan pemerintah Myanmar agar menghentikan aksi-aksi kekerasan dan penyerangan kepada penduduk Rohingya, termasuk di antaranya adalah kerja sama reformasi sektor keamanan.
Kaukus diplomasi permanen penting dirumuskan oleh pemerintah Indonesia untuk mencegah terjadinya kekerasan berlanjut dan menyelesaikan permasalahan utama konflik etnis Rohingya di Myanmar. ***2***