Jakarta (ANTARA
Bengkulu) - Senin pekan depan, Tahun Kelinci akan berganti dengan Tahun
Naga Air atau Liong. Harapan baru segera bersemi. Yang lama terjalani,
menjadi lebih baik atau lebih tidak menguntungkan.
Namun
tak peduli baik atau buruk di masa yang sudah-sudah, masa yang baru
selalu disambut, terutama oleh yang merayakannya, yaitu masyarakat
Tionghoa.
Di hampir seluruh kota di Indonesia,
warna merah yang menjadi corak paling mencolok menjelang Tahun Baru Cina
atau Imlek, mendominasi sejumlah sudut kota, terutama kawasan
perniagaan dan tempat-tempat di mana warga Tionghoa memadatinya.
Salah satunya adalah kawasan Pasar Baru di Jakarta Pusat.
Di
sini, rumah-rumah telah ramai dihias pernak-pernik cantik. Sementara
mereka yang masih memegang teguh adat istiadat dan agama akan
bersembahyang di klenteng.
Klenteng-klenteng
sendiri bersiap diri. Di Klenteng Sin Tek Bio atau Vihara Dharma Jaya,
ratusan lilin besar telah dipersiapkan untuk dinyalakan selama Imlek
nanti.
Lilin-lilin merah berkaligrafi Cina
berwarna emas memenuhi hampir separuh ruangan klenteng, terutama depan
altar Dewa Toa Pe Kong, dewa perdagangan.
Umat
akan mulai bersembahyang pada tanggal 22 pagi hingga 23 sore. "Selama
itu pula lilin-lilin raksasa ini akan terus menyala," kata Ketua Yayasan
Wihara Dharma Jaya, Santoso Witoyo.
Saat Imlek
nanti wihara ini akan didatangi ribuan orang untuk beribadah. Santoso
menyebut angka 3.000. Siapa sangka, wihara dalam gang sempit di Pasar
Baru ini ternyata kerap dikerubungi orang dari banyak negara dan bangsa.
"Umat
yang datang tidak hanya dari Indonesia, namun juga dari luar negeri
seperti Malaysia, Singapura, Taiwan, China, Australia, bahkan Belanda,"
ujar Santoso.
Pada lilin-lilin dalam gelas,
para karyawan wihara menambahkan minyak hingga nyaris memenuhi gelas.
Kata mereka, supaya lilin dapat terus menyala.
Sewaktu
perayaan Imlek itu pula, banyak orang yang percaya pada ramalan, mereka
ini akan datang ke wihara untuk itu untuk meminta tahu peruntungannya
di tahun yang baru nanti.
"Teman saya A Kong yang meramal. Dia sukarela dalam pelayanan ini, tidak matre," ujar Santoso.
Gus Dur
Adakah yang berbeda antara merayakan Imlek di masa kini dengan masa dulu?
Sebenarnya
tidak, kata Santoso. Semua masa, termasuk era Orde Baru, membolehkan
masyarakat Tionghoa merayakan Imlek. Namun, dulu sempat ada beberapa
larangan.
"Kami dilarang memasang kaligrafi
Cina, semua harus dalam tulisan Indonesia. Merayakan Imlek pun harus di
dalam wihara atau rumah pribadi. Tak sampai ke jalanan," kata Santoso
lagi.
Era kepemimpinan Gus Dur-lah yang membuat
kebebasan kian terbuka. Saat itu, barongsai dan kaligrafi Cina dengan
mudah dijumpai di mana-mana.
"Sebenarnya tidak
masalah pada masa Orde Baru, namun kami tahu ada beberapa pihak yang
tidak suka. Jadi kami lebih baik tidak melakukan apa-apa," kenang
Santoso yang mengelola Yayasan Dharma Jaya sejak 1981.
Hanya
sepelemperan baru dari Wihara Dharma Jaya, kesibukan menyambut Imlek
menyelimuti sejumlah tempat, termasuk sentra-sentra belanja.
Masyarakat
yang merayakan Imlek mulai berbondong-bondong berbelanja keperluan
Imlek. Mulai lilin merah, hiasan pintu, sampai amplop untuk angpao.
Hampir
semua pusat perbelanjaan, dari mewah sampai kaki lima, berusaha meraup
rejeki tambahan menjelang Imlek. Perlengkapan bernuansa naga, merah,
kuning dan emas dipajang menghiasi beberapa pusat belanja.
Lebih pasrah
Beberapa
pedagang menjualkan bermacam perlengkapan Imlek. Sebagian sekadar
menghiasi toko dan menawarkan potongan harga. Kata mereka, yang penting
untung di hari raya.
Edi Sutrisno dikenal
sebagai penjual masker motor atau penghalang debu, tapi kini barang
dagangannya bertambah. "Saya jualan pernak-pernik Imlek mulai tanggal 1
Januari kemarin. Hasilnya lumayan," ujar Edi.
Bermodalkan Rp5 juta, dia bisa untung Rp3 juta.
Tak jauh darinya, Nurjanah yang biasanya berjualan gorengan dan sate jeroan, 'menanam modal' untuk pernak pernik Imlek.
"Saya kasih teman saya Rp 1 juta, dia punya modal lebih, lalu dia yang jual. Setelah Imlek selesai, baru bagi hasil," katanya.
Nurjanah mengaku bisa untung hingga Rp500 ribu.
Jualan
mereka memang diminati orang banyak. "Saya beli di sini sekalian lewat,
karena kalau beli di tempat lain belum tentu lebih murah," ujar Mariani
Santoso, warga Kemayoran yang mengaku masih merayakan Imlek.
Sementara seorang pria bernama Iwan Suyono membeli pernak-pernik Imlek sebagai oleh-oleh untuk putrinya yang masih balita.
"Anak
saya senang dengan warna merah. Saya beli saja, meskipun tidak
merayakan Imlek, tapi saya suka liat pernak-perniknya," ujar Iwan sambil
menenteng hiasan pintu bergambar Doraemon berpakaiankan busana
tradisional Cina.
Semua yang merayakan antusias
menyambut Imlek. Tapi yang lebih penting, kata Santoso, adalah lebih
beramal baik dan lebih berpasrah kepada Yang Maha Kuasa. (*)