Jakarta (ANTARA) - Sebanyak empat spesies baru kumbang Chafer (Coleoptera Scarabaeidae) dari genus Epholcis ditemukan di Maluku Utara oleh peneliti Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Raden Pramesa Narakusumo bersama Michael Balke dari Zoologische Staatssammlung München, Jerman.
Berdasarkan keterangan pers yang diterima ANTARA, Jakarta, Rabu, keempat spesies baru tersebut adalah Epholcis acutus, Epholcis arcuatus, Epholcis cakalele, dan Epholcis obiensis. Kemudian, satu lectotipe yaitu Maechidius moluccanus Moser dipindahkan ke marga Epholcis sebagai Epholcis moluccanus (Moser). Publikasi temuan tersebut dimuat dalam Jurnal Treubia Vol. 46 yang terbit pada Desember 2019.
Hingga saat ini tercatat sepuluh spesies Epholcis yang berhasil ditemukan. Enam diantaranya teridentifikasi pada 1957 oleh Britton di New Queensland dan New South Wales, Australia.
Sedangkan empat spesies baru yang ditemukan itu merupakan catatan baru di wilayah Indonesia dan berasal dari Kepulauan Maluku yaitu, Halmahera, Obi, dan Kepulauan Ternate.
"Dari bukti ini terlihat kesenjangan utama spesies Epholcis di wilayah Papua karena belum pernah ada laporan sebelumnya. Kemungkinan karena pendeskripsian beberapa spesies Epholcis sebagai Maechidius masih kurang seksama, adanya kemiripan kedua kumbang tersebut dan kurangnya pengumpulan spesimen," kata Pramesa.
Pramesa menuturkan kumbang Epholcis merupakan serangga malam (nocturnal) yang memakan daun pohon Eucalyptus di Australia dan juga bunga cengkeh. Sedangkan di Maluku, kumbang itu memakan tumbuhan dari familia Myrtaceae.
Nama acutus pada kumbang Epholcis acutus dimaksudkan untuk menggambarkan ciri fisik kumbang yang berarti "berujung tajam" dari sudut bagian pronotum. Sementara arcuatus pada kumbang Epholcis arcuatus memiliki arti "berbentuk busur" dilihat dari bentuk kaki belakang yang melengkung, dan menggambarkan ciri fisik kumbang itu.
Sedangkan nama jenis cakalele diambil dari nama tarian tradisional Maluku dan obiensis merujuk pada Pulau Obi sebagai lokasi penemuan.
Metode yang digunakan untuk identifikasi spesies baru kumbang itu adalah metode taksonomi klasik lewat pendeskripsian morfologi secara tepat dan ringkas, teknik diseksi genitalia serta teknik makrofotografi.
Metode tersebut mengandalkan penelitian morfologi, penelusuran melalui publikasi lawas, dan studi banding dari satu museum ke museum lain.
Metode itu berbeda dengan yang digunakan saat penemuan 110 jenis kumbang moncong Trigonopterus yang menggunakan metode Integrative Taxonomy atau Turbo Taxonomy yang mengintegrasikan metode taksonomi klasik dengan teknik genetika molekuler.
Identifikasi holotipe kumbang itu telah dilakukan sejak 2015 dan spesimen tersebut didapat dari koleksi Museum Zoologicum Bogoriense Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI dan Naturalis Biodiversity Centre, Leiden, Belanda.
Pramesa mengatakan potensi penemuan jenis-jenis kumbang baru di wilayah Indonesia masih sangat besar. Berbagai koleksi spesimen kumbang yang saat ini disimpan di Museum Zoologicum Bogoriense dari berbagai hasil ekspedisi memerlukan upaya identifikasi dari para ahli dan peneliti untuk penentuan jenisnya.