Kupang (Antara Bengkulu) - Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir (2010-2012) Nusa Tenggara Timur merupakan propinsi dengan angka stunting tertinggi di Indonesia yaitu 58,4 persen dari angka nasional 35,6 persen.
"Hasil riset kesehatan dasar 2010 menunjukkan, selama tiga tahun terakhir, angka stunting NTT bertambah dan merupakan propinsi tertinggi di Indonesia," kata Kepala Badan PBB untuk Urusan kesehatan Anak (Unicef) Perwakilan Kupang, drg Gregorius Mau Bili, di Kupang, Jumat.
Dia mengemukakan hal itu terkait laporan Komnas Perlindungan Anak yang menyebutkan hingga akhir 2012 ada 8 juta anak atau sekitar 35 persen dari 23 juta anak balita di Indonesia mengalami gizi buruk kategori stunting yakni tinggi badan lebih rendah dari pertumbuhan bayi normal.
Sedangkan untuk kasus gizi buruk tercatat 900.000 bayi atau sekitar 4,5 persen dari total jumlah bayi di Indoensia.
Menurut dia, dengan kondisi stunting di NTT ini berarti dari 100 anak NTT, 58 orang berada dalam kondisi pertumbuhan terhambat, suatu kondisi yang membutuhkan perhatian para pihak untuk memberikan perhatian, dalam bentuk program dan upaya-uapaya yang seharusnya dilakukan serta dukungan pendanaan untuk menurunkan atau menekan angka tersebut diwaktu-waktu mendatang.
"Masalah gizi bukan saja merupakan tanggung jawab pihak kesehatan, namun merupakan tanggung jawab semua pihak dan harus dilakukan secara terpadu, terkoordinasi," kata mantan Wakil Bupati Belu ini.
Ia menjelaskan status gizi antara lain ditentukan oleh penyebab langsung seperti asupan makanan dan penyakit.
Berikut penyebab tidak langsung seperti akses terhadap makanan, pola asuh dan penyediaan makanan serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan.
Penyebab dasar yaitu faktor pendidikan (Formal dan Informal), faktor politik dan ideologi, struktur ekonomi dan budaya serta tentunya sumber daya yang tersedia, katanya.
"Pemerintah dan UNICEF sekarang juga mengkampanyekan gerakan 1000 hari pertama kehidupan dengan dukungan lanjutan dalam tahun 2013-2014 berupa Penguatan Tim Koordinasi dan Advokasi kepada DPRD dan Satuan Perangkat Kerja Dinas (SKPD)," katanya.
Ia mengatakan sosialisasi tentang stunting kepada tokoh agama, tokoh masyarakat dan stakeholder lainnya, serta pelatihan Pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) dan Tenaga Kesehatan serta aktor lainnya.
Ia menyebut hasil Penelitian dari Universitas Indonesia (UI), menyebutkan makanan pendamping air susu ibu (MPASI) pabrikan serta asupan gizi makanan lokal, diharapkan dioptimalkan sebagai salah satu solusi mengatasi masalah gizi pada anak balita.
"Dalam penelitian itu juga ditemukan masalah gizi pada anak balita di Indonesia masih cukup tinggi, dimana sebanyak 18,4 persen anak balita menderita gizi kurang, 36,8 persen anak pendek, dan 13,6 persen anak kurus," katanya.
Menurut Greorius, persoalan gizi dan ketahanan pangan di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk NTT ini, harus dilakukan pencegahan terhadap terjadinya kurang gizi paling baik dilakukan mulai dari kehamilan hingga anak berusia dibawah dua tahun.
Ia menjelaskan, MP-ASI yang diberikan bersama dengan pemberian ASI setidaknya dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi dan balita serta harus diberikan dari umur enam bulan sampai 24 bulan.
"Ada dua macam MP-ASI yakni sebagai makanan transisi yang dibuat khusus untuk memenuhi kebutuhan gizi dan fisiologi balita. Juga dijadikan sebagai makanan keluarga yang dijadikan sebagai bagian dari menu makanan keluarga," katanya.
Sebagai makanan pendamping, MP-ASI harus diberikan ketika anak berusia enam bulan, dapat memenuhi kebutuhan gizi anak, bebas patogen, tekstur dan porsinya, serta tepat cara pemberian.
Mengingat keterbatasan daya tampung lambung balita yang sangat terbatas yakni hanya 30 mililiter (Kg), MP-ASI yang diberikan harus padat gizi.
Dikatakan, hambatan yang berpengaruh terhadap tingkat gizi balita yakni beberapa jenis makanan tabu yang dilarang untuk diberikan kepada anak balita seperti ikan dan telur. Pendidikan ibu masih rendah danpengetahuan gizi dan kuliner ibu masih rendah.
Masalah lain yang ditemukan yakni variasi makanan pada balita masih rendah dan perbedaan kondisi daerah menyebabkan adanya perbedaan pada ketersediaan makanan dan pola makan, katanya menjelaskan. (Antara)
Angka stunting di NTT tertinggi di Indonesia
Jumat, 1 Maret 2013 9:32 WIB 4742