Dunia boleh saja memuja Mandela sebagai malaikat pembawa perdamaian yang menghapus politik apartheid tanpa pertumpahan darah, namun dalam perspektif politik aspiratif dia adalah pemimpin yang gagal menjalankan misinya.
Nelson Mandela, keturunan aristokrat lokal yang menjadi presiden kulit hitam pertama di Afrika Selatan itu, mati dengan menyaksikan ketimpangan sosial yang hendak diruntuhkannya justru semakin menajam.
Betul bahwa kini praktik yang membagi hak-hak sipil berdasarkan warna kulit telah lama hilang dari negara yang menyebut dirinya sebagai "bangsa pelangi" itu. Betul bahwa transisi politik tersebut secara mengagumkan terjadi tanpa pertumpahan darah yang banyak berarti. Namun apa artinya kesetaraan politik tanpa kesetaraan ekonomi?
Afrika Selatan memang kini menjadi salah satu di antara sedikit negara di benua Afrika yang berpendapatan menengah ke atas dengan pendapatan perkapita sebesar 7.610 dolar AS, atau dua kali lipat dari uang yang didapatkan oleh rata-rata penduduk Indonesia selama satu tahun.
Namun di sisi lain, indeks gini dari Bank Dunia yang mengukur ketimpangan kesejahteraan masyarakat di suatu negara menunjukkan bahwa Afrika Selatan adalah negara yang paling buruk di dunia dalam hal distribusi kekayaan.
Koefisien 63,1 dalam survei terakhir Bank Dunia jauh lebih buruk dibanding masa awal kepemimpinan Mandela pada 1995. Angka ketimpangan kesejahteraan di Afrika Selatan itu hampir dua kali lipat dari Indonesia (38,1) dan bahkan masih jauh lebih tinggi dari negara tetangganya baru seumur jagung, Sudan Selatan (45,5).
Dan mudah untuk ditebak bahwa tidak meratanya distribusi kekayaan tersebut berbanding terbalik dengan warna kulit. Pendapatan rumah tangga kulit hitam yang jumlahnya mencapai 80 persen penduduk Afrika hanya seperenam (1/6) dari total pendapatan kulit putih yang jumlah populasinya tidak mencapai 20 persen.
Realitas inikah yang diharapkan oleh Mandela menjelang kematiannya? Semua orang yang ingat akan pesan pendek Mandela yang ditulis pada Januari 1990 dari dari dalam penjara tentu akan menjawab "tidak".
Dalam secarik kertas, Mandela menulis bahwa "Nasionalisasi pertambangan, bank, dan monopoli industri adalah kebijakan organisasi African National Congress (ANC)... (untuk) ... memberdayakan ekonomi kelompok kulit hitam yang merupakan tujuan kami."
Itulah janji Madela kepada pendukung setianya di luar penjara. Pemberdayaan ekonomi kulit hitam itulah yang menjadi persoalan utama yang diangkat dalam "Freedom Charter", piagam yang memuat tujuan utama dibentuknya ANC oleh Mandela dan teman-teman seperjuangannya.
Bagi Mandela dan ANC, apartheid bukan hanya sistem politik yang meregulasi siapa yang mempunyai hak pilih tetapi juga sistem ekonomi yang memungkinkan kelompok ras tertentu mendapat keuntungan besar dari pertambangan dan pertanian karena kulit hitam tidak diperbolehkan memiliki alat-alat produksi.
Pesan Mandela dalam robekan kertas pada 1990 menunjukkan sikap sang pemimpin revolusi pada saat itu yang masih percaya bahwa kebebasan politik tidak dapat dicapai tanpa redistribusi kekayaan.
Lalu apa yang membuat sejarah menikam balik manusia berhati malaikat seperti Mandela sehingga dia gagal mencapai tujuannya? Dalam konteks menjawab menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya rekonstruksi peristiwa yang diruntutkan oleh Naomi Klein dmenjelang berakhirnya rezim apartheid pada akhir 1993 ditulis ulang.
Saat itu, negosiasi antara ANC dengan Partai National milik rezim de Klerk dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama mengurusi soal politik dan yang terakhir soal ekonomi.
Pada bagian perundingan ekonomi yang tidak terlalu mendapatkan perhatian publik itulah kelompok apartheid mengajukan klausul independensi bank sentral dengan imbalan penyerahan hak-hak politik kepada kaum kulit hitam. Dan persyaratan itulah yang akhirnya disetujui.
Elit intelektual ANC yang tidak mengikuti perundingan memprotes keras kesepakatan tersebut. Bagi mereka, kebijakan moneter yang dieksekusi oleh bank sentral harus ditujukan untuk melayani kepentingan "Freedom Charter" yaitu "redistribusi kekayaan, penciptaan lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi".
Namun alih-alih mendengarkan tuntutan pendukungnya, tim negosiator yang dipimpin oleh Mandela justru bergerak lebih jauh lagi dengan memberikan kursi tertinggi bank sentral kepada orang sama yang memimpin institusi penting tersebut di masa rezim apartheid, Chris Stals. Bahkan pos menteri keuangan juga diberikan kepada tokoh dari kelompok yang sama.
Menanggapi fenomena tersebut Naomi Klein dalam bukunya `The Shock Doctrine¿ menulis, "rakyat Afrika Selatan memang berhasil merebut kekuasaan, namun cakupan kekuasaan tersebut dengan cepat terkikis habis dan tidak lagi punya kaki untuk mereformasi ekonomi."
Redistribusi kekayaan yang dicita-citakan Freedom Charter dan pemberdayaan kulit hitam yang dijanjikan Mandela kini menjadi tidak mungkin dilakukan karena instrumen kebijakan yang menentukan hal tersebut masih dikuasai oleh kelompok lama.
Apartheid memang menyerahkan sedikit kuenya kepada Mandela namun mereka berhasil mempertahankan sisi kekuasaan paling strategis yang dimiliki.
Ini bukan konsesi sementara yang dibuat Mandela untuk memuluskan transisi politik di Afrika Selatan pada saat itu agar tidak terjadi pertumpahan darah. Langkah tersebut lebih mencerminkan perubahan keyakinan Mandela mengenai bagaimana menjalankan roda ekonomi di negaranya.
Bandingkan pernyataan Mandela tahun tahun 1992 ini dengan pesannya di secarik kertas saat masih dipenjara, "Dalam kebijakan ekonomi...kami tidak mengenal hal-hal seperti nasionalisasi, dan hal ini bukan hal yang kebetulan...tidak ada satupun slogan partai ANC yang mempunyai hubungan dengan ideologi Marxist."
Mengenai perubahan sikap ini, The New York Times pernah menulis bahwa "Tuan Mandela pada akhir-akhir ini lebih mirip dengan Margareth Thatcher daripada aktivis sosialis revolusioner pada masa mudanya."
Mungkin hanya Mandela yang tahu mengapa keyakinannya berubah. Namun satu hal yang pasti, perubahan ideologi tersebut justru membuat dia gagal mencapai cita-citanya akan kesetaraan hak politik dan ekonomi bagi seluruh rakyat Afrika Selatan tanpa memandang warna kulit.
"Malaikat" Mandela yang gagal menciptakan kesetaraan ras
Sabtu, 7 Desember 2013 1:59 WIB 3033