Jakarta (ANTARA) - Sebanyak 59 warga yang terlibat aksi unjuk rasa penolakan kegiatan tambang di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, telah dipulangkan kepada anggota keluarganya.
“59 warga masyarakat yang diamankan oleh kepolisian sudah dikembalikan ke keluarganya,” kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Dedi Prasetyo di Jakarta, Senin.
Dalam peristiwa tersebut, Mabes Polri menurunkan Tim Divisi Propam dan Divisi Humas untuk membantu peristiwa pembubaran unjuk rasa yang menewaskan seorang warga sipil.
Korban tewas yang diduga akibat luka tembak bernama Erfaldi (21) warga Desa Tanda, Kecamatan Tinombo Selatan.
Untuk membuktikan penyebab kematian korban, Polri melakukan uji balistik terhadap senjata anggota yang melakukan pengamanan aksi unjuk rasa pada saat insiden terjadi.
"Dugaan sementara adalah luka tembak, ini nanti akan dibuktikan Tim Labfor, akan diuji balistik beberapa senjata yang nanti akan disampaikan Kapolda Sulawesi Tengah, sudah diamankan, nanti akan diuji balistik siapa pelakunya pasti akan teridentifikasi," ujar Dedi.
Dalam pengamanan unjuk rasa, kata Dedi, anggota Polri tidak boleh membawa senjata api peluru tajam, sesuai dengan standar operasi prosedur (SOP) penanganan unjuk rasa, seperti pada tahun 2018 dan 2019.
Menurut dia, Polri membentuk Tim Antianarkis yang berada di tingkat polres ataupun polda. Tim tersebut bisa bergerak atas perintah kapolda sesuai dengan tahapan yang terjadi.
Ada tahapan yang dilakukan, pada zona hijau atau masih zona damai, berbeda bila sudah masuk zona kuning yang eskalasi sudah meningkat.
Selanjutnya zona merah, sudah ada korban jiwa dari masyarakat, aparat, dan ada tindakan anarkis, seperti pembakaran fasilitas umum dan properti. Kalau terjadi peningkatan kejahatan, baru tim antianarkis diturunkan.
"Pelibatan tim antianarkis pun ada tahapan-tahapannya, sudah ditentukan," ujar Dedi.
Terkait dengan situasi di Parigi Moutong, Dedi menyebutkan Kapolda Sulawesi Tengah lebih mengetahui situasi di lokasi terkait dengan perlawanan dan pelemparan dari pengunjuk rasa.
Dedi mengatakan bahwa Polda Sulteng sudah melakukan negosiasi. Namun, karena aksi sejak pukul 11.00 sampai 00.30 WITA, Satuan Dalmas, Sabhara, dan Brimob harus membubarkan secara paksa dengan menggunakan tembakan gas air mata dan water cannon.
Dalam kebebasan penyampaian pendapat di muka umum, kata dia, harus sejalan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998. Dalam UU ini sifatnya tidak absolut tetapi limitatif.
"Pasal 6 menjadi kewajiban semua warga negara untuk menyampaikan kemerdekaan pendapat di muka umum," katanya.
Aturan tersebut menjelaskan bahwa semua warga negara wajib menaati dan memperhatikan hak-hak orang lain. Setiap warga negara wajib menaati norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Selain itu, setiap warga negara wajib menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku; setiap warga negara wajib menjaga keamanan dan ketertiban umum; setiap warga negara wajib menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
"Nah, ini hal yang tidak bisa dilanggar. Maka, upaya kepolisian harus melakukan tindakan tegas," kata Dedi.
Sebelumnya, masyarakat setempat mengatasnamakan Aliansi Rakyat Tani (Arti) Koalisi Gerak Tambang menuntut Pemerintah Provinsi Sulteng menutup tambang emas milik PT Trio Kencana yang memiliki lahan konsesi di Kecamatan Kasimbar, Toribulu, dan Tinombo Selatan.
Mereka bergerak sejak pukul 09.00 WITA hingga dini hari. Karena aksi itu dianggap telah mengganggu ketertiban lalu lintas, kepolisian setempat membubarkan paksa demonstran hingga pukul 24.00 WITA.