Pekanbaru (Antara) - Greenomics Indonesia menyatakan Kementerian Kehutanan menolak kerja sama operasional dengan dua anak usaha kelompok perusahaan Asia Pulp and Paper (APP) yakni PT Arara Abadi dan PT Wirakarya Sakti.
"Permohonan itu diajukan tiga bulan setelah APP meluncurkan 'forest conservation policy' atau kebijakan konservasi hutan pada Februari 2013," ujar Koordinator Program Nasional Greenomics Vanda Mutia Dewi melalui telepon seluler dari Pekanbaru, Jumat.
Para perusahaan kelompok APP tersebut, lanjut dia, yakni PT Perawang Sukses Perkasa Industri, PT Ruas Utama Jaya, PT Rimba Mandau Lestari yang berada di Riau. Sedangkan PT Rimba Hutani Mas berada di Jambi dan PT Rimba Hutani Mas yang berada di Sumatera Selatan.
Kelima perusahaan tersebut sekaligus membuktikan bahwa pemasok bahan baku independen yang disebut APP, ternyata adalah anak usaha langsung dari perusahaan yang memproduksi pulp dan kertas yakni PT Arara Abadi dan PT Wirakarya Sakti.
Akhirnya permohonan persetujuan itu ditolak Kemenhut setelah melakukan pemantauan oleh Direktorat Jenderal Hutan Tanaman Kemenhut serta membongkar fakta bahwa perusahan-perusahaan tersebut terkait langsung dengan APP.
"Selanjutnya, pihak Kemenhut meminta agar APP tidak lagi mengajukan permohonan kerja sama operasional serupa untuk perusahaan-perusahaan yang diklaim sebagai pemasok-pemasok independen," katanya.
Dalam laporan satu tahun pelaksanaan kebijakan konservasi hutan APP, Greenomics menyerukan agar perusahaan raksasa pada industri kertas itu tidak lagi menyembunyikan status perusahaan pemasok bahan bakunya yang terbukti membabat hutan alam dan gambut.
Pihaknya juga meminta agar "rainforest alliance" tidak melakukan audit terhadap kebijakan APP selama belum ada kejelasan tentang status hukum perusahaan-perusahaan yang disebut APP sebagai pemasok independen.
"Kami harap laporan ini bisa menjadi rujukan bagi semua pemangku kepentingan tentang status hukum perusahaan yang selama ini ditutupi sebagai pemasok independen oleh APP," ucap Vanda.
Market Transformation Leader World Wildlife Fund (WWF) Aditya Bayunanda mengatakan hingga kini kebijakan konservasi hutan APP belum menyentuh bagaimana mengganti kerusakan hutan yang telah dilakukan.
Dia juga mengingatkan perusahaan itu telah membuka hutan alam seluas lebih dari 2,6 juta hektare.
"APP seharusnya bertanggungjawab karena mewariskan hutan rusak yang sangat luas," katanya.
Dengan sejarah perusakan hutan yang kelam, APP bukanlah model yang layak ditiru perusahaan pulp dan kertas lain.
"APP baru menyatakan berhenti membabat hutan alam setelah hutannya habis. Jika kampanye ala itu ditiru perusahaan lain, maka bisa membahayakan masa depan hutan Indonesia," tegasnya. (Antara)
Kemenhut tolak kerja sama anak usaha APP
Jumat, 7 Februari 2014 14:23 WIB 1296