Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan mengatakan pemerintah perlu memperkuat upaya perlindungan konsumen, salah satunya melalui revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU PK).
"Revisi UU PK perlu dilakukan untuk merespons dinamika yang terjadi di masyarakat. UU perlu relevan dengan perkembangan perdagangan offline dan e-commerce dan juga aspek untuk melindungi konsumen di kedua platform tersebut,” jelas Pingkan lewat keterangannya di Jakarta, Jumat.
Pandemi COVID-19 sudah menunjukkan perlindungan konsumen di Indonesia masih lemah, lewat fenomena panic buying dan melonjaknya harga beberapa komoditas penting.
Pingkan memaparkan UU PK merupakan dasar hukum utama untuk perlindungan konsumen di Indonesia, yang mengatur hak konsumen di antaranya konsumen berhak diperlakukan secara jujur; hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa; hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur; serta hak untuk mendapatkan perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa konsumen.
Berdasarkan penelitian CIPS, meskipun UU PK secara umum telah menjabarkan hak-hak konsumen, namun UU ini masih belum mengakomodasi hak-hak konsumen dalam transaksi digital, sebab beberapa ketentuan terkait transaksi digital belum dibahas secara memadai.
Sebagai contoh, saat ini masyarakat mulai menggunakan platform e-commerce yang merupakan pihak ketiga sebagai penghubung antara penjual dengan konsumen, sehingga ia berperan penting dalam menengahi sengketa dan memfasilitasi ganti rugi antara konsumen dengan penjual.
Namun UU PK belum mengakomodir posisi pihak ketiga. Perlindungan konsumen juga dibahas pada Undang-Undang Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan (UU Perdagangan) yang mewajibkan bisnis daring menyediakan informasi yang lengkap dan jelas.
Selain itu dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PP PMSE) juga membahas mengenai perdagangan elektronik dan sudah memberikan sanksi untuk pelanggaran seperti iklan yang tidak sesuai.
“Sayangnya mekanisme ganti rugi dalam PP PMSE tidak konsisten dengan UU PK. UU PK mengatur ganti rugi dilakukan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Sedangkan dalam PP PMSE disebutkan hal ini dilakukan oleh Kementerian Perdagangan,” tegasnya.
Karena itu, kata dia, perlu penyelarasan mekanisme ganti rugi dan pelaporan agar tidak membuat konsumen bingung dan memperjelas tanggung jawab antara kementerian maupun lembaga terkait.
Meskipun UU PK tidak mengakui peran pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa, dalam praktiknya, platform e-commerce telah memberikan layanan aduan seperti skema pengembalian barang dan dana apabila konsumen merasa barangnya tidak sesuai dengan yang diiklankan.
Hal ini, menurut Pingkan, sangat positif karena platform memahami kepuasan konsumen akan berdampak pada perkembangan usaha sehingga mereka menerapkan regulasi mandiri untuk melindungi konsumen digital. Hal ini juga menunjukkan bahwa melibatkan sektor swasta dapat mendorong pelaksanaan bisnis yang bertanggung jawab.
“CIPS juga merekomendasikan mekanisme pengaturan bersama atau koregulasi dapat diterapkan untuk kolaborasi yang berkelanjutan dan transparan antara pemerintah dengan pihak swasta dalam mengatasi tantangan perlindungan konsumen,” imbuhnya.
Upaya pemberdayaan konsumen juga harus ditingkatkan lewat kerja sama pemerintah, swasta, dan lembaga masyarakat dalam mensosialisasikan informasi mengenai hak-hak konsumen, skema pelaporan jika mengalami kerugian, dan juga peningkatan literasi digital.
Konsumen juga perlu mengetahui informasi produk dengan menyeluruh sebelum bertransaksi dan memahami skema pelaporan dan pengembalian produk jika tidak sesuai.