Medan (ANTARA) - Perkumpulan pengajar dan praktisi hukum ketenagakerjaan Indonesia (P3HKI) menyebutkan, bahwa dampak cuti melahirkan selama enam bulan bagi pekerja berpotensi kehilangan pendapatannya.
"Sebenarnya dari sisi pekerja cuti persalinan selama enam bulan akan berdampak atas kehilangan seluruh ataupun sebagian pendapatan mereka," ucap Ketua II P3HKI, Ahmad Ansyori di Medan, Senin.
Hal ini diungkapkannya menanggapi Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) yang segera disahkan menjadi inisiatif DPR dalam rapat paripurna di Jakarta, Kamis (30/6).
Selain itu, lanjut dia, terdapat beberapa pasal, seperti Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 8 RUU KIA bersinggungan dengan UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, dan masih ada kerancuan dalam RUU itu.
"Masih ada kerancuan, seperti Pasal 6 memberikan ketentuan maksimal bagi suami sebagai pendamping berhak dapatkan cuti selama 40 hari," tutur Ahmad yang merupakan mantan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).
Dewan pakar P3HK, Prof Aloysius Uwiyono dalam diskusi kelompok RUU KIA pekan lalu mengatakan cuti enam bulan bisa memberatkan pihak perusahaan, dan negara harus hadir membantu menanggungnya.
"Jika pemerintah tidak bisa membantu, maka tidak bisa terlaksana. Ada jalan atau cara lain yakni melalui perjanjian kerja bersama yang disepakati pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh," katanya.
Ahmad Ansyori dalam diskusi ini memberi masukan tiga poin, yakni pemikiran RUU KIA jangan sampai mengurangi hak publik lainnya, dan pengaturan ketenagakerjaan merupakan porsi di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Cuti melahirkan enam bulan pekerja berpotensi kehilangan pendapatan