Jakarta (Antara) - Direktur Institut Madani Nusantara Prof Nanat Fatah Natsir berharap vonis seumur hidup yang dijatuhkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar bisa menjadi peringatan bagi koruptor di Indonesia.
"Vonis Akil Mochtar sangat tepat bila dilihat kasusnya terjadi saat dia menjabat sebagai ketua MK. Sebab, MK merupakan benteng terakhir penegakan konstitusi dan sengketa pilkada di Indonesia," kata Nanat Fatah Natsir dihubungi di Jakarta, Selasa.
Presidium Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) itu mengatakan Akil memang pantas dihukum seberat-beratnya, yaitu dengan vonis hukuman penjara seumur hidup.
Sebelumnya, Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis mantan ketua MK Akil Mochtar dengan pidana seumur hidup dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah terkait pengurusan 10 sengketa pilkada dan tindak pidana pencucian uang.
"Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa M Akil Mochtar dengan pidana seumur hidup," kata Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Suwidya Jakarta, Senin (30/6)
Pidana tersebut sesuai tuntutan jaksa penuntut umum meski tanpa pemberian denda dan hukuman tambahan. Sebelumnya, jaksa meminta Akil divonis penjara seumur hidup dan denda Rp10 miliar dan pencabutan hak politik untuk memilih dan dipilih.
"Hal yang memberatkan terdakwa adalah ketua lembaga negara yang merupakan benteng terakhir pencari keadilan sehingga harus memberikan contoh terbaik dalam integritas, kedua perbuatan terdakwa menyebabkan runtuhnya wibawa MK Republik Indonesia, ketiga diperlukan usaha yang sulit dan lama untuk mengembalikan kepercayaan kepada lembaga MK," kata Suwidya.
Hakim juga tidak melihat ada hal yang meringankan dari perbuatan Akil.
"Terdakwa dituntut dengan ancaman maksimal maka hal yang meringankan tidak dapat dipertimbangkan lagi," tuturnya.
Dalam pertimbangannya, majelis memang melihat bahwa perbuatan Akil harus dihukum berat.
"Setelah majelis bermusyararah, majelis sependapat dengan dakwaan tuntutan penuntut umum mengingat perbuatan terdakwa yang berat khususnya terkait penyelenggaraan pilkada di daerah sehingga denda tidak relevan lagi karena terdakwa dituntut pidana maksimal sehingga pidana itu tidak dapat diganti lagi bila terdakwa tidak bisa membayar tuntutan denda itu," kata Suwidya. ***1***