Jakarta (ANTARA) - Pemerintah dalam perhelatan G20 di Bali mendatangkan 6.000 unit kendaraan listrik (EV) sebagai sarana transportasi kepala negara yang hadir ke berbagai venue.
Dengan jumlah EV sebanyak itu tentunya membutuhkan banyak stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) mengingat satu kendaraan membutuhkan waktu 30-60 menit agar baterai bisa terisi penuh.
Balai Besar Survei dan Pengujian Ketenagalistrikan, Energi Baru Terbarukan, dan Konservasi Energi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut hadirnya ribuan kendaraan listrik di G20 Bali lebih sebagai wujud keseriusan pemerintah mewujudkan ekosistem kendaraan listrik di Tanah Air.
Namun untuk merealisasikan ekosistem kendaraan listrik bukanlah perkara mudah meski nikel sebagai bahan baku baterai berlimpah, bahkan menempatkan Indonesia pada peringkat pertama negara penghasil nikel.
Dari 2,67 juta ton produksi nikel di seluruh dunia, Indonesia telah memproduksi 800 ribu ton, jauh mengungguli Filipina (420 ribu ton Ni), Rusia (270 ton Ni), dan Kaledonia Baru (220 ribu ton Ni).
Presiden RI Joko Widodo juga sudah menerbitkan Inpres 7 tahun 2022 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah sebagai upaya mendorong ekosistem kendaraan listrik.
Memang menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah maupun pengusaha untuk pengadaan baterai dengan memanfaatkan sumber daya alam nikel Tanah Air dengan harga terjangkau, sehingga masyarakat bisa beralih dari kendaraan berbahan bakar fosil ke listrik.
Sebagai langkah awal pengadaan baterai butuh subsidi untuk 1.000 kendaraan, yang artinya membutuhkan investasi Rp7 triliun.
Seperti diketahui harga satu unit baterai EV roda dua berkisar Rp5 hingga Rp7 juga. Dengan adanya insentif maka harga yang dibayar untuk baterai hanya separuhnya.
Pengisian listrik menggunakan sistem tukar baterai seperti halnya menukar tabung gas. Dengan demikian masyarakat cukup membeli baterai sebagai tahap awal untuk selanjutnya tinggal mengisi ulang dengan menukar baterai di lokasi-lokasi yang menyediakan.
Pemerintah melalui Balai Besar Survei dan Pengujian Ketenagalistrikan, Energi Baru Terbarukan, dan Konservasi Energi juga memberikan pelatihan kepada bengkel yang merupakan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di bidang konservasi, sepeda motor berbahan bakar fosil menjadi bertenaga listrik.
Dengan strategi demikian diharapkan pasar EV terbentuk yang pada akhirnya mendorong terciptanya ekosistem EV hulu hilir.
Hulu bersiap
Bagi pelaku usaha tambang nikel, untuk mengembangkan produksi baterai EV merupakan "barang" baru mengingat awalnya hanya diproduksi dalam bentuk lain.
Seperti sebuah grup pertambangan yang beroperasi di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara, sejak tahun 2010, awalnya untuk memproduksi bahan baku besi tahan karat (stainless steel).
Perusahaan itu beroperasi melalui dua perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP), dengan total wilayah operasi 5.523 hektare.
Dalam mendukung program hilirisasi pemerintah, perusahaan itu mendirikanperusahaan yang bergerak di bidang pengolahan dan pemurnian nikel menggunakan teknologi hidrometalurgi berbasis high pressure acyd leach (asam alkali bertekanan tinggi) yang menghasilkan produk mixed hydroxide precipitate dan produk akhir nikel sulfat dan kobal sulfat.
Turunan nikel saat ini dapat digunakan untuk pembuatan besi tahan karat (stainless steel), campuran besi baja, industri otomotif (velg, kerangka, knalpot), dan bahan dasar baterai isi ulang.
Dengan kebijakan hilirisasi melalui UU Nomor 3 tahun 2020 tentang perubahan UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara sangat dimungkinkan untuk membangun industri baterai di tanah air mengingat bahan bakunya memang tersedia.
Dalam upaya untuk mewujudkan ekosistem EV itu perlu kebijakan lanjutan terkait baterai yang digunakan. Hal ini mengingat baterai untuk ev itu ada berbagai macam.
Dengan potensi yang ada maka untuk ekosistem EV sepertinya akan dikembangkan baterai berbasis nikel dengan komposisi 80 persen nikel, 10 persen mangan, dan 10 persen kobal (cobalt).
Apabila hilirisasi nikel ini dapat terealisasi hingga ke produksi masal baterai, maka berpotensi meningkatkan nilai tambah bagi ekonomi Indonesia 26 hingga 30 kali.
Sepeda motor
Program konversi dari BBM fosil ke listrik menyasar kepada sepeda motor. Hal ini dikarenakan populasi kendaraan ini cukup besar sampai ke pelosok-pelosok serta banyak digunakan sebagai transportasi segala lapisan masyarakat.
Alasan mendesaknya konversi energi dari fosil menjadi listrik karena dua tahun lalu neraca perdagangan Indonesia sempat kebobolan karena impor minyak terlalu banyak, padahal energi di dalam negeri mencukupi.
Dengan populasi 130 juta sepeda motor, artinya per hari membutuhkan 800 ribu barel, sementara produksi 800 barel. Jadi kebutuhan per hari itu 1,6 juta barel dan separuhnya dari sepeda motor.
Saat itu Pemerintah Indonesia melakukan konversi kendaraan sepeda motor berbasis BBM ke listrik. Apabila target tersebut tercapai, minimal bisa memangkas impor BBM.
Terkait konversi ke listrik, kalau pada 2020 pemerintah baru bisa menyasar 10 unit motor listrik, maka 2021 sudah meningkat menjadi 100 unit, kemudian untuk tahun 2022 ini targetnya bisa 1.000 unit.
Dengan konversi ke energi listrik tentunya akan menumbuhkan sektor bisnis baru, yakni bengkel yang khusus mengonversi sepeda motor berbahan bakar fosil menjadi listrik.
Terkait hal itu pemerintah sudah memberikan edukasi ke sejumlah bengkel sepeda motor sehingga mereka siap.
Bahkan, pemerintah menargetkan pada 2030 bisa menjangkau 13 juta kendaraan motor listrik agar bisa menurunkan impor BBM.
Pada tahun ini pemerintah berharap subsidi untuk BBM bisa dipangkas karena nilai subsidi tersebut sangat besar. Selain itu untuk mengurangi emisi dan untuk ketahanan energi nasional.
Energi harus berkesinambungan dan bisa lebih murah. Jadi untuk regulasi EV juga tidak bisa tiba-tiba, namun harus berkesinambungan dengan regulasi lainnya.
Energi listrik harus bersinergi dengan energi baru terbarukan (EBT), sehingga peta jalan konversi dan transisi energi bisa tercapai dan bersinergi.
Patut diingat apabila tujuan pengembangan ekosistem EV bertujuan menciptakan energi ramah lingkungan, maka produksi baterai juga dipastikan ramah lingkungan. Sebagai contoh sumber energi tidak lagi dari pembangkit batu bara, tetapi berasal dari pembangkit ramah lingkungan, seperti PLTA.
Lantas yang juga dipikirkan adalah limbah dari baterai itu kelak mengingat tergolong sebagai B3 yang tentunya membutuhkan ekosistem tersendiri untuk daur ulang.
Dengan demikian kalau bicara kebutuhan EV ini perjalanan masih sangat panjang. Dari bahan baku tambang hingga bahan baku untuk pembuatan baterai.
Tentu saja, ini harus didukung oleh investasi yang tidak sedikit. Kendati, perkembangan kendaraan listrik ke depan akan baik, salah satunya dengan dukungan pemerintah saat ini.
Tentu saja ini bisa menjadi tantangan bagi pelaku bisnis di Indonesia, dan menjadi pemain produk baterai.
Tak hanya itu energi ramah lingkungan lainnya juga terus membayangi konversi listrik, salah satunya dengan pemanfaatan hidrogen yang dalam uji coba terakhir juga sukses.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mendorong ekosistem kendaraan listrik yang solid
Mendorong ekosistem kendaraan listrik yang solid
Rabu, 16 November 2022 20:58 WIB 1230