Jakarta (ANTARA) - Direktur Perencanaan Makro dan Analisis Statistik Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Eka Chandra Buana menyebut anggaran pemerintah hanya dapat memenuhi 11 persen dari total kebutuhan pendanaan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT).
"Yang bisa dilakukan yang terpenting, pertama, kita bekerja sama dengan sektor swasta. Kita sudah merumuskan blended financing untuk investasi pengembangan EBT, mulai dari green bond, sukuk, dan lainnya," katanya dalam penutupan International Economic Modeling Forum di Jakarta, Kamis.
Regulasi juga perlu diperkuat untuk mengembangkan teknologi EBT yang memerlukan peta jalan sebagai tolak ukur atau target transisi energi yang ingin diraih baik dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang.
Ia mengatakan, pada tahap awal, proses transisi energi berpotensi membuat pertumbuhan ekonomi melemah, tapi dalam jangka panjang proses transisi ini diyakini akan menguntungkan bagi lingkungan dan perekonomian.
Adapun transisi energi perlu dilakukan karena ke depan Indonesia yang ditargetkan menjadi negara maju pada 2045 harus tumbuh lebih tinggi dengan mengembangkan industri manufaktur.
Pada saat yang sama Indonesia ingin mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) untuk menurunkan emisi karbon sebesar 31,89 persen dengan upaya sendiri dan 43,20 persen dengan bantuan internasional pada 2030.
Sektor energi dibidik sebagai sektor yang diharapkan menurunkan emisi karbon karena permintaan energi dalam negeri, terutama listrik, diperkirakan akan meningkat lima kali lipat dari 2020 sampai 2045, bersamaan dengan upaya mendorong pertumbuhan industri manufaktur.
"Terkait dengan kenaikan permintaan energi ini akan menyumbang emisi, sementara sebagian besar energi kita saat ini berasal dari batu bara. Ini jadi tantangan kita bagaimana beralih menggunakan EBT," ucapnya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Bappenas: Pemerintah hanya penuhi 11 persen kebutuhan anggaran EBT