Jakarta (Antara) - Pengamat Politik UPH Victor Silaen mengatakan berbagai alasan yang dikemukakan selama ini untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD tidak relevan.
"Alasan-alasan mengembalikan pilkada ke DPRD tidak relevan," kata Victor melalui keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.
Ia menjelaskan, apabila dicermati secara kritis, penjelasan orang-orang yang kontra dengan pilkada langsung oleh rakyat lebih banyak menyorot soal efisiensi biaya dan potensi korupsi di balik ajang tersebut.
Selain itu, kata dia, pilkada langsung dinilai bertentangan dengan sila keempat Pancasila yang mengandung makna perwakilan.
"Kalau benar pilkada langsung oleh rakyat bertentangan dengan sila keempat Pancasila, bukankah itu berarti pilkada-pilkada yang sudah diselenggarakan di berbagai daerah sejak Juli 2005 dapat dianggap tidak sah dan karenanya bisa dianulir," kata Victor.
Menurut dia, Pancasila merupakan ideologi sekaligus falsafah hidup bangsa Indonesia dan bukan merupakan sumber hukum atau peraturan yang harus dirujuk untuk membenarkan atau menyalahkan sebuah undang-undang atau peraturan.
Pancasila, kata dia, merupakan sumber nilai yang harus menginspirasi secara konsekuen dan konsisten bagaimana Indonesia harus hidup sebagai sebuah bangsa dan negara.
"Jadi, jangan memaksakan Pancasila untuk menjadi rujukan sebuah perundangan tentang pemilu kepala daerah," kata dia.
Victor berpendapat, dalam konteks demokrasi sebagai sistem, harus dipahami bahwa konsep perwakilan ada karena demokrasi memang tidak memungkinkan pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan dengan mengikutsertakan seluruh rakyat.
Itu sebabnya, lanjut dia, sejak zaman Yunani Kuno telah ditetapkan demokrasi tidak langsung yang merujuk pada proses pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan yang tidak melibatkan seluruh rakyat, bukan karena tidak menghargai aspirasi rakyat, melainkan karena pelaksanaannya yang tak memungkinkan.
"Pada zaman sebelum Masehi itu, bahkan hanya puluhan ribu orang saja takmungkin hadir di sebuah ruang persidangan untuk kemudian ikut bersidang bersama dengan para elite politik. Apalagi, pada zaman sekarang, dengan jumlah rakyat yang sudah puluhan, bahkan ratusan juta orang," kata dia.
Dengan logika itu, kata dia, dalam sidang-sidang untuk membuat kebijakan atau mengambil keputusan publik, aspirasi rakyat harus diwakili oleh elite-elite politik di lembaga parlemen. Oleh karena itu, di lembaga terhormat itu para wakil rakyat harus bicara demi memperjuangkan aspirasi rakyat.
Namun, dalam hal memilih calon kepala daerah dan calon kepala pemerintahan (temasuk calon wakil rakyat), rakyat harus dibiarkan memilih sendiri sebab dalam konteks ini rakyat tidak harus hadir secara serentak di sebuah ruangan, tetapi dapat melaksanakan hak pilihnya di tempat masing-masing yang telah dipersiapkan oleh panitia pemilihan.
"Kita harus paham hakekat pemilu di Indonesia sebagai pesta demokrasi rakyat. Jangan melupakan bahwa 12 November 2007 Indonesia telah diakui kalangan internasional sebagai negara demokrasi ke-3 terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan India karena pemilu demi pemilu pasca-Soeharto berhasil diselenggarakan dengan baik, lancar, dan bebas," jelas dia.
Lebih jauh dia mengatakan, apabila alasan mengembalikan pilkada ke DPRD lantaran untuk menghemat biaya, Indonesia patut mencoba teknologi "e-voting" yang telah berhasil dikembangkan oleh Badan Pengembangan dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan sudah mulai diterapkan dalam pelaksanaan pemilihan kepala desa di beberapa daerah.
"'E-voting' caranya mudah hanya dibutuhkan satu set perlengkapan mulai dari 'card reader' untuk membaca kartu pemilih yang mencantumkan chip dengan nomor NIK e-KTP, sebuah layar sentuh yang menampilkan foto kandidat, dan printer struk barcode sebagai bukti telah menggunakan hak pilih. Tidak ada lagi istilah mencoblos karena tidak lagi menggunakan kertas suara. Tinggal membutuhkan payung hukum saja," paparnya.
RUU Pilkada rencananya akan disahkan pada tanggal 25 September mendatang melalui sidang paripurna.
Dalam pembahasan RUU Pilkada, muncul wacana dari Partai Koalisi Merah Putih untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD. Namun, partai pendukung Jokowi-JK menolak wacana itu.
Demokrat sendiri, yang memosisikan diri sebagai partai penyeimbang telah menyatakan sikapnya mendukung pilkada langsung oleh rakyat dengan sejumlah catatan yang harus dituangkan dalam RUU Pilkada untuk meminimalisasi hal-hal yang dinilai tidak baik dalam penyelenggaraaan pilkada.