Dalam kontroversi itu, nama Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Jawa Timur Harun pun terseret terkait larangan bagi siswi hamil untuk mengikuti UN 2012 yang konon dilontarkannya dengan merujuk fungsi pendidikan yang bukan hanya formal, tapi juga bermakna sebagai pendidikan karakter.
Tak kurang 26 lembaga yang tergabung dalam Jaringan Peduli Pendidikan Anak Jawa Timur pun memprotes hal itu.
Ke-26 lembaga itu antara lain Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim, Samitra Abaya KPPD, PusHAM Ubaya, TESA 123, PPT Jatim, Yayasan Sapulidi, Hotline Pendidikan, Koalisi Perempuan Indonesia, dan sebagainya.
Para aktivis/pegiat lembaga itu pun meminta pemerintah untuk mengikutsertakan siswi hamil dalam UN 2012.
"Kalau siswi hamil dilarang mengikuti UN, maka larangan itu melanggar konstitusi. Pasal 28-c ayat 1 UUD 1945 menyebutkan negara wajib menghormati, memenuhi, dan melindungi hak warga negara," ucap Ketua LPA Jatim, Sinung D Kristanto di Surabaya.
Didampingi puluhan rekannya, ia menjelaskan UU 20/2003 tentang Sisdiknas juga menyatakan pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
"UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak juga menjamin hak dasar anak, baik anak itu ada dalam situasi khusus maupun situasi konflik. Hak dasar seperti pendidikan itu tidak bisa dibatasi atau dihilangkan," katanya.
Oleh karena itu kalau siswi hamil dilarang mengikuti UN maka larangan itu bersifat diskriminatif, karena hanya siswi yang dijadikan pihak yang bersalah, padahal siswi hamil itu tentu ada siswa yang menghamili.
"Karena itu, kami mengimbau pemerintah dan sekolah membangun situasi yang kondusif menjelang UN dan bukan mengeluarkan kebijakan yang membuat siswi tertekan untuk mengikuti UN," katanya.
Bahkan, katanya, kebijakan kejar paket untuk pengganti UN bagi mereka yang berhalangan juga merupakan peminggiran yang sifatnya diskriminatif terhadap anak Indonesia. Selain imbauan, pihaknya juga mendirikan Posko Pengaduan UN di seluruh daerah.
Lantas, bagaimana dengan komentar Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Jawa Timur Harun tentang kontroversi itu.
"Kami tidak pernah mengeluarkan larangan tertulis kepada teman-teman di kabupaten/kota untuk itu (melarang siswa hamil mengikuti UN)," tuturnya ketika dikonfirmasi ANTARA di Surabaya (13/4).
Ia mengaku tidak pernah mengeluarkan larangan tertulis kepada dinas pendidikan di kabupaten/kota se-Jatim untuk menghalangi siswi hamil mengikuti UN.
"Coba tanyakan ke teman-teman (pejabat disdik) di kabupaten/kota, larangan itu nggak ada," kilahnya.
Susulan
Masih ingat dengan balada Ny Siami dan anaknya Alif dari Gadel, Surabaya pada UN 2011?Orang tua dari siswa SDN Gadel II Surabaya itu membongkar aksi contek massal pada UN 2011, namun dia justru diusir warga Gadel yang melihat "kejujuran" sebagai "salah".
Idem dito, balada siswi hamil agaknya harus dilihat dalam dua sisi yakni sebagai anak memang punya hak untuk mengenyam pendidikan yang tentu tetap tidak boleh diskriminatif.
Namun, sebagai manusia, maka sang anak itu harus memiliki karakter dan kalau dia hamil di luar nikah tentu karakternya harus dibenahi. Jangan anak yang salah justru dibenar-benarkan.
Adalah Pengurus Wilayah (PW) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Jawa Timur yang meminta siswi hamil dan siswa yang menghamilinya untuk mengikuti ujian nasional (UN) susulan sebagai "hukuman" atas akhlaknya yang tidak baik.
"Kalau pemerintah tidak melarang, maka kami berharap siswi hamil dan siswa yang menghamilinya jangan dianggap sama dengan yang lain, karena hal itu akan dianggap pemerintah memperbolehkan," kata Ketua PW IPNU Jatim M Fadli di sela-sela sarasehan dalam rangka pelantikan pengurus IPNU Jatim periode 2012-2015 di Surabaya (15/4).
Dalam acara yang dihadiri Kepala Infokom Jatim Sudjono, Kasi Pendidikan Karakter Disdik Jatim Asri Harijati PhD, dan komisioner KPI Pusat Idy Muzayyad itu, ia menjelaskan siswi hamil dan siswa yang menghamili boleh saja mengikuti UN, tapi UN yang diikuti harus UN susulan.
"Siswi hamil dan siswa yang menghamilinya itu jangan mengikuti UN yang reguler, karena dia memang tidak boleh disamakan dengan siswa yang lain," katanya dalam acara yang juga dihadiri tokoh pers Surabaya, Arif Affandi itu.
Ke depan, ia berharap UN tidak dijadikan syarat utama untuk lulus sekolah, namun kelulusan diserahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah, sehingga siswi hamil dan siswa yang menghamili mungkin bisa lulus UN, tapi dia bisa tidak lulus sekolah.
"Itulah pentingnya kelulusan diserahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah, sebab pihak sekolah tidak hanya akan menggunakan UN atau ujian sekolah sebagai satu-satunya parameter kelulusan, tapi juga ada parameter karakter," katanya.
Menurut dia, UN atau ujian sekolah hendaknya hanya dijadikan alat evaluasi belajar, tapi alat ukur kelulusan tidak hanya satu, melainkan semuanya yakni UN, ujian sekolah, ketrampilan atau kreatifitas, dan karakter (akhlak).
"Kalau pendidikan hanya berhenti pada ujian atau UN, maka pendidikan akan gagal melahirkan manusia Indonesia seutuhnya sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 dan UU Sisdiknas," kata orang nomer satu di IPNU Jatim asal Lamongan itu.
(T.E011/A025)