Pertama, memanen air hujan dengan membuat jebakan-jebakan air di lahan pertanian maupun di sekeliling lahan pertanian. Jebakan air dapat berupa cekungan, seperti embung, sumur, saluran, biopori, bahkan kolam, tergantung kondisi lanskap lahan pertanian dan jenis tanaman yang diusahakan.
Kedua, memberikan bahan organik ke dalam tanah. Bahan organik bisa meningkatkan kemampuan tanah untuk memegang air, sehingga lahan tidak mudah kering.
Bahan organik sering dianggap kurang praktis diberikan ke dalam tanah karena membutuhkan jumlah yang banyak, sehingga boros di sisi biaya pengangkutan dan biaya tenaga kerja saat aplikasi.
Anggapan itu benar jika tujuan menggunakan bahan organik untuk pemasok hara, tetapi tidak demikian jika tujuan menggunakan bahan organik sebagai pembenah tanah, seperti meningkatkan kapasitas memegang air. Bahan organik yang tersedia di daerah setempat dapat digunakan sebagai pembenah tanah.
Upaya menyediakan bahan organik yang paling mudah dan murah adalah dengan mengembalikan sisa biomassa yang tidak terangkut panen ke dalam tanah. Sebut saja jerami padi, jerami jagung, dan blotong tebu.
Bahan baku yang juga sering terlupakan adalah gulma yang tumbuh di lahan dan sekeliling lahan pertanian. Umumnya petani membabatnya lalu membuangnya ke luar lahan. Padahal biomassa gulma merupakan anugerah dari Tuhan sebagai bahan organik cuma-cuma.
Biomassa sisa panen, paprasan tanaman pinggir, tanaman penutup lahan dan gulma dapat disebar maupun ditumpuk memanjang di lahan tergantung tanaman utama yang diusahakan. Biomassa tersebut dapat berperan sebagai mulsa yang mencegah penguapan air dari permukaan tanah.
Dengan demikian kelembapan tanah dapat terjaga untuk menopang kehidupan tanaman utama. Biomassa saat dipergunakan sebagai mulsa mengalami proses dekomposisi biomassa, dan selama proses tersebut, mulsa biomasa berfungsi menyumbangkan air dari proses dekomposisi juga bermanfaat dalam menurunkan potensi pencucian hara.
Semua mafhum, seringkali pembuatan kompos di luar lahan yang tidak tepat membuat hara terbuang karena air lindi tercuci.
Ketiga, mengombinasikan pembuatan cekungan untuk jebakan air dengan pemberian bahan organik. Cekungan berupa saluran atau biopori digunakan untuk menampung biomassa sebagai bahan baku bahan organik.
Biomassa dibenamkan ke dalam saluran atau biopori untuk dibiarkan terdekomposisi. Kombinasi ini membuat air masuk ke dalam solum tanah dan bertahan lama di dalam solum tanah, sehingga tidak hilang melalui penguapan atau masuk terus ke luar solum tanah karena gaya gravitasi.
Upaya lain menghadapi El Nino, setelah mitigasi adalah adaptasi. Sebut saja pemilihan varietas tanaman tahan cekaman kekeringan atau pemilihan jenis maupun varietas tanaman berumur pendek.
Penggunaan saprodi budi daya yang tepat guna dapat juga menjadi pilihan, seperti aplikasi bahan organik sebagai pembenah tanah, dan penggunaan pupuk yang tepat waktu, jenis, cara, dan jumlah yang disesuaikan dengan ketersediaan air agar efektif dan efisien.
Pemupukan yang digabungkan dengan pengairan drip irrigation sangat berpotensi meningkatkan efisiensi air dan pupuk. Selain itu, pemupukan silika diketahui juga dapat meningkatkan ketahanan terhadap cekaman abiotik, seperti kekeringan dan kegaraman (salinitas).
Demikian pula melakukan diversifikasi tanaman, multi-cropping, agar dapat meminimalkan risiko gagal panen total, serta dengan pengaturan pola tanam dengan mempercepat penanaman.
Tujuannya agar saat periode tanaman membutuhkan air yang tinggi masih dapat terpenuhi karena air masih tersedia.
Untuk antisipasi hal tersebut pemanfaatan sistem informasi akan sangat membantu dalam adaptasi, seperti Kalender Tanah (KATAM) yang dapat memberikan informasi ketersediaan air berdasarkan curah hujan dan waktu tanam yang tepat.
Peluang
Sebaliknya, di lahan rawa, fenomena El Nino justru menguntungkan jika pada level pemerintah dapat memanfaatkan momentum. Ketika terjadi El Nino sebagian besar rawa lebak akan surut secara berangsur-angsur, sehingga area yang semula berupa perairan dapat diubah menjadi lahan pertanian.