Beban kerja yang berat, ditambah dengan tekanan psikologis akibat berbagai tuduhan dan cibiran, menjadi tantangan tersendiri bagi mereka.
"Pemilu merupakan konsekuensi dari bentuk republik sebuah negara," kata Rudiansyah. KPPS memang dituntut dan harus bekerja dengan benar. Namun, tak jarang mereka masih mendapatkan kekurangan dan kekeliruan dalam menjalankan tugasnya.
Di balik kekurangan dan kekeliruan tersebut, terdapat dedikasi dan integritas para petugas KPPS yang patut diacungi jempol. Mereka rela mengorbankan waktu, tenaga, dan bahkan kesehatan demi memastikan suara rakyat tersalurkan dengan baik.
KPU Kaltim berkomitmen untuk menindaklanjuti dan memperbaiki kekurangan yang terjadi dalam penyelenggaraan pemilu. Rudiansyah menegaskan bahwa KPU akan terus berbenah diri agar penyelenggaraan pemilu di masa depan semakin baik.
Lebih dari itu, apresiasi dan dukungan dari masyarakat sangatlah dibutuhkan untuk meningkatkan semangat para petugas KPPS.
"Kita harus menyadari bahwa mereka adalah bagian penting dari demokrasi, dan tanpa mereka, suara rakyat tidak akan tersalurkan dengan baik," demikian Rudiansyah menyiratkan optimisme KPU menegakkan demokrasi yang jujur, adil, dan berintegritas.
Sebelumnya, Penjabat Gubernur Kalimantan Timur Akmal Malik turun tangan, memantau dari TPS ke TPS untuk memastikan petugas KPPS bekerja secara sehat. Pun mendorong KPPS untuk kreatif mengundang partisipasi pemilih.
Atas kebanggaannya kepada petugas di TPS, ia pun akan memberikan anugerah berupa hadiah kepada TPS yang tingkat partisipasinya mencapai 90 persen.
Baca juga: Petugas KPPS di Kabupaten Tangerang meninggal diduga kelelahan
Baca juga: Hak pilih terhambat, kisah warga Sido Mulyo Seluma yang tak nyoblos karena sakit
"Ada hadiah khusus bagi mereka," ucap Akmal Malik.
Secara umum, Akmal Malik menargetkan partisipasi pemilih pada tahun 2024 sebesar 77,5 persen. Ia tak sungkan untuk "angkat topi" kepada seluruh petugas KPPS di wilayahnya atas pengorbanan waktu dan tenaga mereka mengawal Pemilu 2024 tetap bermartabat.
Bisikan harapan untuk pemimpin pilihan
Di tengah hiruk pikuk pesta demokrasi, suara dari pelosok negeri tak henti berbisik. Suara dari Desa Muara Enggelam, sebuah desa terpencil di Kalimantan Timur, yang terbelah oleh air dan kesunyian.
Di desa ini, musim hujan bukan hanya soal derasnya air, tapi juga tentang perjuangan anak-anak menuntut ilmu.
Setiap pagi, di atas perahu kecil, mereka mengarungi air, menembus kabut pagi, menuju Sekolah Dasar Negeri 011 Muara Wis, Desa Muara Enggelam. Sekolah yang terbuat dari kayu, terapung di atas air, menjadi saksi bisu perjuangan mereka.
"Enggak apa-apa, yang penting belajar," kata Zahra, siswa, dengan polos. Banjir tak menyurutkan semangat mereka. Di tengah keterbatasan, mereka tetap haus akan ilmu pengetahuan.
Di dalam kelas yang sederhana, dengan papan tulis kayu dan bangku-bangku yang basah, mereka belajar dengan penuh semangat. Guru-guru mereka, pahlawan tanpa tanda jasa itu, dengan dedikasi tinggi, mengantarkan ilmu di tengah keterbatasan.
"Belajar di rumah susah karena sinyal," ujar salah seorang siswa. Internet, yang bagi banyak orang adalah akses mudah untuk belajar, di sini masih menjadi barang langka.
"Mereka sudah terbiasa mendayung sampan, tak ada akses selain itu untuk menuju sekolah," imbuh Kepala SDN 011 di Muara Enggelam Hery Cahyadi.
Pada momen pencoblosan yang baru saja usai, suara mereka menggema. Harapan mereka tertuang pada pemimpin negeri, agar pemerataan pembangunan tak hanya slogan, tapi menjadi kenyataan.
Suara dari Desa Muara Enggelam, suara dari pelosok negeri, adalah pengingat bagi semua, bahwa pendidikan adalah hak semua anak bangsa, tanpa terkecuali. Di tengah gemerlap pembangunan, jangan sampai ada yang tertinggal.
Cerita ini adalah potret kecil dari perjuangan anak-anak di pelosok negeri. Pada momen pesta demokrasi yang saat ini tengah masa rekapitulasi suara dari KPU, sudah seharusnya suara mereka menjadi pengingat, bahwa pendidikan adalah kunci kemajuan bangsa.