Jakarta (ANTARA) - Kasus perundungan (bullying) di kalangan remaja sekarang ini semakin meresahkan dan terus bertambah di berbagai sekolah, tidak hanya di pinggiran, tetapi juga sudah menerpa sekolah elit, bahkan pondok pesantren.
Data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) pada 2023,perundungan di sekolah mencapai 30 kasus, naik dibanding 2022 sebanyak 21 kasus.
Presiden Jokowi, saat pembukaan Kongres XXIII Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Jakarta, Sabtu (2/3) menyoroti banyaknya kasus perundungan, kekerasan dan pelecehan di sekolah, bahkan sampai memakan korban jiwa.
Baca juga: Presiden: Kasus perundungan jangan ditutupi demi nama baik sekolah
Seharusnya, bagi Jokowi, sekolah menjadi tempat belajar dan bermain yang aman dan nyaman serta bersosialisasi bagi setiap anak. Jangan sampai ada siswa yang ketakutan, tertekan atau tidak betah di sekolah.
Oleh sebab itu, Presiden mengingatkan agar kasus-kasus perundungan diselesaikan dengan baik, bukan ditutup-tutupi hanya untuk menjaga nama sekolah.
Kasus perundungan merupakan salah satu dari “tiga dosa besar” dalam dunia pendidikan, seperti yang disampaikan Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim awal 2022, yakni kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi.
Untuk mengatasi kasus perundungan ini, Pemerintah telah membentuk satuan tugas (satgas) di sekolah yang akan mengawasi berbagai bentuk kekerasan dengan Permendikbud No 46/2023 sebagai pedoman untuk mencegah perundungan di sekolah. Satgas ini melibatkan semua unsur sekolah dan orang tua murid.
Baca juga: Polisi tetapkan empat tersangka dalam kasus perundungan di Serpong
Sejumlah sekolah juga sudah membentuk tim pengawas perundungan dengan melibatkan guru olahraga, guru Bimbingan dan Konseling (BK) serta wali atau orang tua murid.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai satgas ini masih belum maksimal dalam menumbuhkan efek jera pada anak karena masih bersifat formalitas. Tim satgas seharusnya lebih aktif dalam membangun kesadaran semua pihak di sekolah untuk membentengi siswa dari berbagai kasus kekerasan.
Unsur sekolah, misalnya, dinilai masih sering berjalan sepihak, antara lain membiarkan anak berkeluyuran pada jam sekolah tanpa izin, atau masih memarahi murid dengan kekerasan verbal yang membuat mereka tertekan, bahkan masih ada guru yang memukul muridnya hanya karena tidak membuat tugas.
Seorang guru Bahasa Inggris di salah satu SMA negeri di Jakarta Selatan mengakui masih banyak guru yang "galak” karena kurangnya kasih sayang dan penghargaan terhadap para siswa.
Baca juga: Dirjen HAM: Perundungan dengan dalih apa pun tak boleh dibiarkan
Hal ini terjadi karena masih ada guru yang kurang profesional dan menjadi guru bukan sebagai panggilan.
Di sisi lain, banyak guru yang masih menghadapi masalah tersendiri, seperti gaji kecil dan beban tugas guru yang cukup berat. Kondisi ini menyebabkan guru tidak tampil secara utuh ketika bertugas di sekolah.
Hasil sejumlah penelitian mengenai model perundungan yang terjadi pada 2023 di sejumlah sekolah di Jakarta menunjukkan potret hampir sama, yakni dilakukan secara berulang di sekitar sekolah oleh kakak kelas secara berkeroyok. Para pelaku biasanya bergabung dalam geng sekolah dan merasa lebih kuat untuk menyakiti korban, tidak memikirkan risiko karena hilangnya rasa sayang atau kasihan pada adik kelas.
Kekerasan juga sering dilakukan masih dengan mengenakan pakaian seragam sekolah atau baju Pramuka yang sama. Identitas pakaian seragam sekolah ternyata belum menjamin rasa kebersamaan satu keluarga di sekolah, apalagi dengan sekolah lain.
Peristiwa kekerasan itu seringkali juga dilihat oleh pelajar lainnya yang menonton dengan sikap tidak peduli. Seharusnya mereka segera melapor ke sekolah.
Ke mana satpam sekolah, guru BK atau psikolog sekolah? Padahal, peristiwa perundungan tersebut seringkali terjadi tidak jauh dari sekolah, bukan di daerah terpencil. Kondisi ini menunjukkan kurangnya peran masyarakat, termasuk ketua RT di lingkungan sekolah.
Hasil wawancara dengan sejumlah pelajar SMA di Jakarta terungkap, hampir semua sekolah selalu ada geng untuk memperkuat pertemanan dengan identitas sendiri, seperti punya baju kaos sama, selalu pulang sekolah bersama, dan gemar nongkrong di pinggir jalan, bengkel sepeda motor atau minum kopi di kafe.
Baca juga: Psikolog dorong guru lebih memperhatikan tindakan perundungan
“Biasanya kami juga punya kesamaan lain, seperti sama-sama bisa musik, atau punya bintang sepakbola yang sama juga, ” kata Irf, siswa kelas II SMA swasta Jakarta Timur. Geng sekolah ini terus bertahan sampai lulus SMA, bahkan sampai kuliah. Masih ada alumni sekolah yang terlibat perundungan.
Dia mengaku, memang ada aturan tidak tertulis dalam geng sekolah ini, antara lain harus membela teman anggota dalam kondisi apapun, seperti sama-sama merokok dan berkelahi dengan cara keroyokan. “Belakangan baru muncul penyesalan, apalagi kalau sampai berurusan dengan polisi,” katanya.
Sistem "interlock" atasi perundungan di sekolah
Kamis, 7 Maret 2024 12:18 WIB 2389