Jakarta (ANTARA) - Pakar ilmu kesehatan dari Fakultas Kedokteran Ilmu Kesehatan Universitas Indonesia (FKUI) Prof Tjandra Yoga Aditama mengemukakan sejumlah aspek penting pencegahan dan pengendalian malaria untuk dibahas dalam agenda Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkesnas) 2024, yang bertepatan dengan Hari Malaria Sedunia pada hari ini.
"Untuk negara kita, data World Malaria Report 2023 dari WHO menunjukkan bahwa di kawasan WHO Asia Tenggara walaupun terjadi penurunan secara umum estimasi kasus sebesar 11,9 persen, tetapi di beberapa negara justru ada kenaikan, yaitu di Indonesia, Bangladesh, Myanmar dan Thailand," kata Tjandra dikonfirmasi di Jakarta, Kamis, terkait Hari Malaria Sedunia 2024.
Baca juga: Guru Besar FK UI kembangkan obat baru kanker payudara dan malaria
Laporan tersebut, kata Tjandra, juga menyebutkan bahwa India dan Indonesia menyumbang sekitar 94 persen kematian akibat malaria di seluruh kawasan WHO Asia Tenggara.
Tjandra yang juga Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara menyebut ada lima jenis parasit yang dapat menyebabkan malaria, dan dua di antaranya yaitu plasmodium falciparum dan plasmodium vivax adalah yang memberi ancaman kesehatan terbesar.
"Penyakit malaria ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina," katanya.
Mantan Dirjen Pengendalian Penyakit Kemenkes RI itu mengatakan ada lima kegiatan pencegahan malaria yang perlu dilakukan di Indonesia, yakni menghindari gigitan nyamuk, pengendalian vektor, pemberian kemoprofilaksis, pemberian kemoterapi pencegahan, dan vaksin malaria.
Baca juga: WHO sudah prakualifikasikan vaksin malaria kedua
Selain itu, Tjandra juga menyampaikan lima pula komponen penting pengendalian malaria, meliputi penguatan sistem kesehatan di kawasan timur Indonesia, termasuk juga kemitraan dalam bentuk public private partnership.
Selanjutnya, pengendalian malaria di Indonesia dan juga negara lain pada umumnya akan bergantung pada invetasi yang tersedia untuk melaksanakannya, kata Tjandra.
Selain itu, ada aspek biologikal dan lingkungan yang amat perlu mendapat perhatian dalam pengendalian malaria di Indonesia.
"Hal ini antara lain mencakup resistensi obat dan juga insektidisa, pengendalian vektor terpadu, termasuk kelambu, larvasida, indoor residual spray dan lainnya, serta antisipasi dan mitigasi perubahan cuaca," katanya.
Dikatakan Tjandra, strategi eliminasi kasus perlu disesuaikan dengan situasi dan keadaan setempat. Program yang dapat dilaksanakan antara lain meliputi pengendalian faktor risiko, kegiatan minum obat massal malaria (Momal), pemetaan reseptifitas dan pembentukan jejaring diagnosis dan tatalaksana.
"Terakhir, penetapan target juga harus jelas dan tegas," katanya.
Tjandra yang juga Guru Besar Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia (UI) itu berharap Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkesnas) yang berlangsung di Tangerang, Banten, 24--25 April 2024 dapat melahirkan perencanaan penanggulangan malaria dari berbagai aspek.
Baca juga: BRIN teliti potensi obat anti malaria dari biodiversitas Indonesia
Baca juga: Dokter sebut perlu perubahan skala besar untuk hapus malaria
"Semoga Rakerkesnas hari ini menghasilkan keputusan penting tentang pengendalian malaria dan berbagai penyakit menular di negara kita," katanya.
Sementara itu, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes Imran Pambudi yang dikonfirmasi terkait laju kasus malaria teraktual di Indonesia belum memberikan komentar hingga tenggat pengiriman naskah berita ke meja sunting.
Hari Malaria Sedunia diperingati setiap tanggal 25 April. Sejak 2015, WHO sudah mensertifikasi 12 negara sebagai bebas malaria, yaitu Maldives (2015), Sri Lanka (2016), Kyrgyzstan (2016), Paraguay (2018), Uzbekistan (2018), Argentina (2019), Algeria (2019), El Salvador (2021), China (2021), Azerbaijan (2023), Tajikistan (2023) dan Cabo Verde (2024).
Pakar minta aspek pengendalian malaria dibahas di Rakerkesnas 2024
Kamis, 25 April 2024 12:06 WIB 1070