Anggota Badan Legislasi DPR RI Mardani Ali Sera mengatakan bahwa media semestinya diberi kebebasan dalam jurnalisme investigatif, bukan justru dilarang seperti yang ada dalam draf Revisi Undang-Undang (RUU) tentang Penyiaran.
Mardani mengaku tidak terlalu mengikuti pembahasan RUU Penyiaran itu, selain soal poin pelarangan jurnalisme investigatif, dan kaget ketika mengetahui adanya poin tersebut dalam draf RUU Penyiaran.
Baca juga: DPR tunda pembahasan RUU Penyiaran
"Yang agak kaget ketika ada pelarangan jurnalisme investigatif, padahal itu mestinya merupakan bagian yang diberikan kebebasan kepada media," kata Mardani di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa.
Menurutnya, kebebasan investigasi bagi dunia jurnalistik diperlukan. Selain mengembangkan kapasitas kemampuan jurnalistik, investigasi diperlukan dalam rangka check and balances.
"Itu lebih tepat di Komisi I DPR, kalau saya pribadi melihat isu yang saya tangkap satu, salah satunya jurnalisme investigatif," katanya.
Baca juga: Terkait larangan jurnalistik investigatif, Dewan Pers pertanyakan RUU Penyiaran
Saat ini isu RUU Penyiaran diperbincangkan di lembaga wakil rakyat itu. RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tersebut dinilai oleh sejumlah pihak terdapat pasal-pasal yang kontroversial.
Salah satu poin kontroversi adalah adanya pelarangan penayangan jurnalistik investigasi dalam Pasal 50B Ayat 2 huruf c.
Selain itu, ada juga poin kontroversial pada Pasal 50B Ayat 2 huruf k tentang pelarangan penayangan mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik. Poin tersebut dinilai kontroversial karena mengandung makna yang multitafsir.
Sebelumnya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menyebut Komisi I DPR RI menargetkan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran selesai dibahas dan dapat disetujui menjadi undang-undang pada tahun 2024 ini.
Kemudian Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid menepis tudingan bahwa Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengecilkan peran pers dan menegaskan bahwa Komisi I DPR menyadari keberlangsungan media yang sehat adalah penting.
Mardani mengaku tidak terlalu mengikuti pembahasan RUU Penyiaran itu, selain soal poin pelarangan jurnalisme investigatif, dan kaget ketika mengetahui adanya poin tersebut dalam draf RUU Penyiaran.
Baca juga: DPR tunda pembahasan RUU Penyiaran
"Yang agak kaget ketika ada pelarangan jurnalisme investigatif, padahal itu mestinya merupakan bagian yang diberikan kebebasan kepada media," kata Mardani di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa.
Menurutnya, kebebasan investigasi bagi dunia jurnalistik diperlukan. Selain mengembangkan kapasitas kemampuan jurnalistik, investigasi diperlukan dalam rangka check and balances.
"Itu lebih tepat di Komisi I DPR, kalau saya pribadi melihat isu yang saya tangkap satu, salah satunya jurnalisme investigatif," katanya.
Baca juga: Terkait larangan jurnalistik investigatif, Dewan Pers pertanyakan RUU Penyiaran
Saat ini isu RUU Penyiaran diperbincangkan di lembaga wakil rakyat itu. RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tersebut dinilai oleh sejumlah pihak terdapat pasal-pasal yang kontroversial.
Salah satu poin kontroversi adalah adanya pelarangan penayangan jurnalistik investigasi dalam Pasal 50B Ayat 2 huruf c.
Selain itu, ada juga poin kontroversial pada Pasal 50B Ayat 2 huruf k tentang pelarangan penayangan mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik. Poin tersebut dinilai kontroversial karena mengandung makna yang multitafsir.
Sebelumnya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menyebut Komisi I DPR RI menargetkan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran selesai dibahas dan dapat disetujui menjadi undang-undang pada tahun 2024 ini.
Kemudian Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid menepis tudingan bahwa Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengecilkan peran pers dan menegaskan bahwa Komisi I DPR menyadari keberlangsungan media yang sehat adalah penting.