Jambi (ANTARA Bengkulu) - Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Jambi menilai kearifan lokal orang rimba atau biasa disebut Suku Anak Dalam di Provinsi Jambi telah lama mendukung upaya pengurangan emisi karbon di daerah itu.
Direktur Komunikasi KKI Warsi Jambi, Rudi Syaf, di Jambi, Senin mengatakan, upaya mengurangi emisi karbon menjadi isu penting bagi sejumlah negara di dunia khususnya negara negara industri.
Kaitannya dengan orang rimba yang tinggal di kawasan TNBD, kearifan masyarakat rimba diketahui telah lama mendukung upaya penanggulangan deforestasi dan degradasi hutan. Sebab, orang rimba sangat bergantung pada hutan tidak hanya sebagai rumah namun juga sebagai jantung kehidupan untuk berinteraksi dengan alam, saling memberi, saling memelihara dan saling menghidupi.
Apalagi, kata dia, kondisi TNBD khususnya di kawasan penyangga sangat mengkhawatirkan. Selain karena kegiatan perambahan maupun alihfungsi hutan sebagai kawasan transmigrasi, kawasan TNBD juga dikelilingi oleh sedikitnya 16 perusahaan HTI dan perkebunan sawit.
Upaya mempertahankan kehidupan hutan juga diakui oleh beberapa warga rimba di kawasan TNBD.
Maritoha, salah satu tumenggung atau kepala suku kelompok orang rimba mengaku resah akibat maraknya alihfungsi lahan dan hutan khususnya di kawasan TNBD.
"Hutan tidak hanya sebagai rumah bagi kami. Namun juga sumber kehidupan, apabila hutan habis, habislah kehidupan kami," katanya.
Menurut dia, dalam aturan adat orang rimba, sangat diharamkan merusak hutan. Bahkan menebang satu pohon tertentu akan dikenakan denda ratusan lembar kain yang nilainya bisa mencapai jutaan rupiah. Hanya saja, aturan itu semakin diabaikan seiring maraknya kegiatan perusahaan HTI maupun perkebunan serta desakan masyarakat luar disekitar kawasan TNBD.
Untuk melindungi kawasan hutan TNBD, kelompok kelompok orang rimba didaerah itu membentuk "hompongan" atau kawasan pembatas antara kawasan yang bisa digarap masyarakat dengan kawasan hutan. Dengan adanya hompongan itu, diharapkan bisa membatasi desakan alihfungsi hutan disekitar TNBD.
Selama ini, salah satu cara untuk menekan peningkatan emisi karbon adalah melalui "reducing emissions from deforestation and forest degradation" (REDD) yang merupakan salah satu program penanggulangan deforestasi dan degradasi hutan sebagai salah satu penyebab utama peningkatan emisi karbon yang menyebabkan efek rumah kaca dan pemanasan global.
"Deforestasi dan degradasi hutan menyumbang sekitar 20 persen emisi karbon di beberapa Negara termasuk Indonesia. Kearifan lokal orang rimba Jambi khususnya yang mendiami kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) telah lama mendukung program REDD dengan cara menjaga kelestarian hutan tidak hanya sebagai rumah, namun juga sumber kehidupan sejak puluhan tahun silam," ujar Rudi Syaf.
Menurut dia, kawasan TNBD tidak hanya berfungsi sebagai rumah sekaligus jantung kehidupan suku terasing dan satwa dilindungi yang ada di Provinsi Jambi. Namun juga sebagai "jantung" penyerap emisi karbon yang menyebabkan pemanasan global.
Pemanasan global telah menjadi isu penting hampir diseluruh negara negara di dunia. Pemanasan global terjadi akibat meningkatnya gas karbon yang kemudian membentuk efek rumah kaca disebabkan beberapa faktor utama.
Beberapa faktor itu, di antaranya adalah pembangkit listrik yang mencapai 24 persen dan perubahan lahan yang didalamnya termasuk deforstasi dan degradasi hutan menyumbang sekitar 20 persen. Sementara sisanya diakibatkan oleh kegiatan industri, transportasi, bangunan, pertanian dan sampah.
"Amerika Serikat merupakan negara tertinggi penyumbang emisi karbon dunia disusul China, negara negara Uni Eropa dan Indonesia masuk dalam urutan keempat penyumbang emisi karbon di dunia," katanya.
Lebih lanjut Rudi mengatakan, kondisi itu mendorong beberapa negara di dunia menggulirkan program REDD atau program penanggulangan deforestasi dan degradasi hutan yang selama ini menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya emisi karbon.
"Mekanisme intensif program REDD di Indonesia juga sudah dituangkan dalam aturan menteri kehutanan tahun 2009 tentang pengurangan emisi dan dilakukan pada 12 jenis kawasan hutan. Di antaranya HTI, hutan desa, hutan harapan, hutan adat dan hutan konversi," jelasnya.
Bukit Dua Belas
Sementara itu, Kepala Balai Taman Nasional Bukit Duabelas, Halasan Tulus, mengatakan, orang rimba sangat berperan dalam menjaga habitat TNBD. Namun demikian, ancaman akan keberadaan TNBD juga tidak bisa diabaikan, salah satunya adalah kegiatan perambahan yang dilakukan masyarakat luar maupun alihfungsi hutan di sekitar TNBD.
"Ada beberapa pelaku kegiatan perambahan didalam TNBD berhasil kita ketahui. Khusus perusahaan HTI maupun perkebunan keberadaanya mengancam karena dikhawatirkan perusahaan tidak tahu batasan antara kawasan yang dikelola dengan kawasan TNBD," ujarnya.
Untuk tetap menjaga kelestarian dan habitat TNBD didalamnya, Balai TNBD secara intensif melakukan operasi rutin dilapangan.
Namun dengan keterbatasan personil yang hanya 44 orang, maka Balai TNBD banyak memfungsikan beberapa program dengan melibatkan orang rimba dan organisasi pemerhati lingkungan maupun masyarakat sekitar dalam upaya menjaga habitat TNBD.
Menurut Kepala Dinas Kehutanan (Dishut) Kabupaten Batanghari, Suhabli mengatakan, untuk melindungi kawasan TNBD dari perambahan maupun aktifitas ilegal lainnya, Pemkab Batanghari telah mengalokasikan sekitar 3.000 hektare kawasan menjadi hutan desa yang berfungsi sebagai pembatas sekaligus penyangga TNBD.
Ia mengakui, kawasan TNBD sebagai taman nasional di Kabupaten Batanghari sudah banyak dikelilingi oleh beberapa perusahaan baik statusnya hutan tanaman industri (HTI) maupun perusahaan perkebunan.
"Diperkirakan ada 8.000 kawasan hutan produksi yang telah dikonversi menjadi HTI. Hanya saja sebagian besar sudah tidak beroperasi. Untuk itu, sejumlah kawasan itu saat ini telah diubah statusnya menjadi hutan desa dan telah diputuskan melalui surat keputusan (SK) oleh Kementrian Kehutanan sejak 2011 lalu," jelasnya.
Kawasan hutan desa yang fungsinya sebagai kawasan penyangga TNBD di Batanghari berada di tiga desa yakni, Desa Jeluti, Olak Besar dan Hajran. Bahkan ia menyatakan, Pemkab Batanghari juga akan kembali mengusulkan penambahan luas hutan desa didaerah itu.
Kawasan TNBD berada di dua kabupaten yakni Sarolangun dan Batanghari dengan memiliki luas sekitar 60.500 hektare.
Berdasarkan data KKI Warsi Jambi, kawasan itu kini didiami sekurangnya 1.689 jiwa orang rimba. Diketahui, kawasan itu mengalami kerusakan mencapai lebih dari 12 ribu hektare, terutama di kawasan penyangganya akibat pemberian izin perkebunan hutan tanaman industri, kelapa sawit dan program transmigrasi.
Warsi : kearifan lokal kurangi emisi karbon
Senin, 21 Mei 2012 9:24 WIB 2914