Pemburuan ini diberi sandi dengan nama Operasi Escobar. Sejak September hingga Juli 2024, sebanyak 60 tersangka jaringan Fredy Pratama sudah ditangkap. Mereka tidak hanya dijerat pasal terkait peredaran narkoba, tapi juga Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Dari 60 tersangka itu, 45 orang sudah diproses tahap II atau pelimpahan tersangka beserta barang bukti kepada jaksa penuntut umum (JPU). Kemudian, seorang tersangka atas nama Bayu Firmadi tahap P-19 atau pengembalian berkas sesuai petunjuk JPU, dan sisanya 14 tersangka proses penyidikan.
Selama perburuan itu, Direktorat Tindak Pidana Bareskrim Polri, pada awal April 2024 berhasil mengungkap keberadaan laboratorium narkoba rahasia atau clandestine laboratory milik jaringan Fredy Pratama, empat tersangka ditangkap. Mereka memasukkan barang-barang kimia dari China ke Indonesia, untuk selanjutnya diolah menjadi prekursor narkoba untuk memproduksi ekstasi dan sabu.
Tentu saja bukan cuma milik jaringan Fredy Pratama. Setidaknya ada empat clandestine laboratory lainnya yang diungkap oleh Polri di sejumlah wilayah, yakni Malang, Jawa Timur, Semarang, Jawa Tengah, Bali, dan Sumatera Utara.
Perkembangan terbaru, Polri mengirimkan tim gabungan DivHubinter dan Dittpidnarkoba Bareskrim Polri ke Thailand untuk bekerja sama dengan kepolisian setempat untuk memburu Fredy Pratama, pria asal Kalimantan Selatan, yang masih bersembunyi di Thailand itu.
Tekad bisa menangkap dan memulangkan Fredy Pratama ke Indonesia ini pun ditegaskan kembali pada saat Polri berhasil membantu Kepolisian Kerajaan Thailand menangkap Thongduan Chaowalit aliasn Pang Nardone alias Sulaiman di Bali pada akhir Mei 2024.
Chaowalit adalah buronan nomor 1 dan paling dicari oleh The Royal Thai Police. Ia terlibat kasus narkoba dan membunuh polisi setempat saat pelariannya dari Thailand ke Indonesia bulan Februari lalu. Kepolisian Thailand pun mengapresiasi keberhasilan Polri dalam menangkap buronan paling berbahaya itu.
Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Brigjen Pol. Mukti Juharsa dihubungi ANTARA mengatakan pencarian terhadap Fredy Pratama makin intensif. Kepolisian berhati-hati dalam melakukan penegakan hukum karena aturan yang ketat di negara tersebut.
TPPU bandar dan kurir narkoba
Kerja keras Polri memberantas narkoba selain untuk penegakan hukum, juga demi memberikan efek jera kepada pelaku, salah satunya memiskinkan para bandar dan kurir, dengan menggunakan jerat Pasal TPPU.
Jaringan Fredy Pratama juga jadi target untuk dimiskinkan agar tidak lagi bisa mengedarkan narkoba di Indonesia. Polri menyita aset dari jaringan tersebut senilai Rp422,20 miliar terdiri atas tanah dan bangunan, apartemen, uang tunai, dan kendaraan roda dua maupun roda empat.
Selain itu, Kepolisian Thailand juga membuat upaya yang sama kepada istri Fredy Pratama yang merupakan warga negara Thailand. Harapannya, dengan dimiskinkan, hal ini akan mempersempit ruang geraknya dalam peredaran narkoba.
Walau sudah jadi buronan, Fredy Pratama masih menjalankan bisnis haram ini, terbukti pada April 2024, Polri menggerebek clandestine laboratory milik jaringan tersebut di perumahan kawasan Sunter, Jakarta Utara.
Polri saat ini bekerja sama dengan Kepolisian Thailand mendata aset-aset Fredy Pratama yang berada di Thailand sekaligus melacak keberadaannya.
Penerapan Pasal TPPU ini jamak dilakukan oleh Polri dari tingkat Bareskrim Polri hingga polda jajaran, agar ada efek jera bagi para pelaku untuk tidak mencari-cari cara mengedarkannya dan mengulangi lagi perbuatannya.
“Jadi, kami akan menangkap mereka, mulai dari kurir lalu naik ke bandar-bandar. Orang-orang yang terlibat di jaringan inilah yang kami jadikan target dijerat Pasal TPPU,” kata Mukti.
Modus peredaran narkoba
Gencarnya aparat penegak hukum dalam upaya memberantas peredaran dan penyalahgunaan narkoba membuat para pelaku mencari celah untuk bisa terus mengedarkan barang dagangannya, salah satunya mengubah modus operandi.