Bengkulu (ANTARA) - Persoalan ganti rugi tanam tumbuh milik petani di atas tapak PLTU batu bara Teluk Sepang, Kota Bengkulu belum menemukan titik terang. Berulangkali negosiasi antara petani dengan perusahaan pemilik proyek PT Tenaga Listrik Bengkulu (TLB) belum menemukan titik temu.
"Titik temu tidak kunjung terealisasi karena pihak PT Tenaga Listrik Bengkulu terus mengingkari janji," kata Sudarman, salah seorang petani, Rabu.
Berikut kronologi kasus tuntutan ganti rugi petani terhadap PT TLB. Sekitar Februari 2017, bermacam tanam tumbuh di atas lahan garapan milik puluhan petani di Kelurahan Teluk Sepang, Kota Bengkulu digusur untuk tapak proyek PLTU.
Baca juga: Petani kembali datangi PLTUb Teluk Sepang tagih ganti rugi
Menurut petani, tidak ada musyawarah apalagi diskusi tentang ganti rugi. Tanaman petani diratakan dengan tanah untuk mendirikan proyek PLTU batu bara berkapasitas 2x100 MW itu.
Menurut petani, penggusuran berlangsung dua kali. Pertama untuk memenuhi kebutuhan lahan proyek 30 hektare, kedua ditambah lagi 10 ha. Jarak penggusuran pertama dan kedua hanya dua pekan.
Setelah penggusuran, tanpa musyawarah, pihak perusahaan PT Tenaga Listrik Bengkulu lewat sejumlah orang yang tidak jelas statusnya menyodorkan ganti rugi dengan nilai bervariasi mulai Rp125 ribu hingga Rp150 ribu untuk sawit yang sudah berbuah. Padahal, sesuai Peraturan Gubernur nomor 27 tahun 2016, harga ganti rugi tanaman sawit yang sudah berbuah sebesar Rp700 ribu per batang.
Aksi protes sejak awal dilakukan petani setelah penggusuran mulai dari memasang pagar kawat di kebun mereka hingga bertemu pihak PT TLB. Sejak itu hanya janji yang didapat.
Petani pun sudah bertemu Gubernur Bengkulu saat itu tapi yang didapat hanya ketidakjelasan.
Dua tahun berlalu, perjuangan petani belum padam. Pada 31 Januari 2019 petani bersama aktivis lingkungan dan mahasiswa mendatangi Kantor Gubernur Bengkulu menuntut ganti rugi tanam tumbuh. Saat itu petani bertemu dengan Asisten II Yuliswani. Ada poin kesepakatan bahwa persoalan ini akan dituntaskan dalam waktu dua minggu. Setelah menunggu dua minggu, tidak ada penyelesaian.
Sudarman mengatakan perjuangan petani terus berlanjut. Mereka kembali menagih janji ke kantor ESDM Provinsi Bengkulu karena yang bertanggung jawab saat pertemuan yaitu Kadis ESDM namun dilimpahkan ke Asisten II.
Pada 21 Februari 2019 petani turun lagi ke jalan menuntut ganti rugi. Pertemuan dialog dihadiri Humas PT TLB, Abu Bakar. Hasilnya, ganti rugi diselesaikan pada 8 Maret 2019 di kantor PT Pelindo.
Namun, saat petani mendatangi kantor Pelindo, Abu Bakar maupun pihak PT TLB lainnya tidak muncul.
Baca juga: Warga Teluk Sepang bermalam di PLTU tuntut ganti rugi tanam tumbuh
Tidak habis akal, petani bergeser dari PT Pelindo II ke lokasi PLTU batu bara dan bertahan hingga malam hari. Petani yang bertahan membuat Abu Bakar muncul setelah dijemput pihak Polres Bengkulu. Ia pun kembali berjanji akan menuntaskan ganti rugi di Kantor Polres Bengkulu pada 9 Maret 2019.
Hasil pertemuan di Polres Bengkulu, disepakati dalam 10 hari kerja ganti rugi akan tuntas. Janji ini pun kembali dimentahkan Abu Bakar saat bertemu perwakilan petani. Abu mengatakan bahwa perusahaan tidak bisa memenuhi tuntutan petani. Janji demi janji dari Abu Bakar yang tidak dipenuhi tak membuat semangat petani surut.
Selasa (26/3) siang petani kembali datang ke proyek PLTU menunggu Abu Bakar dan masih bertahan hingga malam dan menginap di depan gerbang perkantoran PLTU.
Tenda berwarna biru didirikan oleh petani di depan gerbang perkantoran PLTU Teluk Sepang. Petani bersepakat bahwa akan tetap menduduki PLTU batu bara Teluk Sepang sampai Abu Bakar menemui dan merealisasikan ganti rugi.
"Kami akan tetap bertahan sampai ada realisasi ganti rugi seperti janji Abu Bakar," kata Sudarman, salah seorang petani yang bertahan di lokasi PLTU, Rabu.
Ini kronologi tuntutan petani di PLTU batu bara Teluk Sepang
Rabu, 27 Maret 2019 12:01 WIB 5816