"Selain menjadi kontributor utama krisis iklim dengan jumlah lebih dari 40 persen, ekstraktivisme batu bara juga telah memberikan dampak buruk di wilayah pembangkit dengan mencemari udara, tanah dan air," kata Dinamisator Jejaring Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB) Ali Akbar dalam keterangannya diterima, di Bengkulu, Jumat.
Menurut dia, ada 33 unit PLTU batu bara yang beroperasi di Sumatera berkapasitas 3.566 megawatt (MW) lalu terdapat perencanaan penambahan PLTU batu bara sebesar 4.000 MW, salah satunya PLTU juga berdiri di Bengkulu.
Sementara saat ini, kata dia, di Pulau Sumatera itu sudah surplus energi listrik sebesar 40 persen atau sekitar 2.555 MW dengan daya mampu neto sebesar 8.916 MW dan beban puncak 6.361 MW.
Dinamisator Gerakan Bersihkan Indonesia Ahmad Ashov Birry mengatakan perlu mengenali urgensi transisi, khususnya terkait penghentian pendirian dan penutupan PLTU batu bara, berdasarkan kondisi di lapangan.
Direktur Yayasan Srikandi Lestari Sumiati Surbakti mengatakan sudah selayaknya semua PLTU yang berbahan bakar batu bara ditutup. Rusaknya lingkungan, kata dia lagi, mempunyai efek domino yakni salah satunya menyebabkan kemiskinan pada masyarakat di tingkat bawah.
Direktur Program dan Juru Kampanye Energi Kanopi Hijau Indonesia Olan Sahayu mengatakan bahwa PLTU batu bara Teluk Sepang Bengkulu harus pensiun dini karena telah mendapat nilai merah, tiga kali mendapatkan sanksi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait pelanggaran pengelolaan lingkungan.
"Namun, aktivitas masih terus berjalan. Limbah abu sisa pembakaran dibuang sembarangan, kolam pembuangan limbah air bahang jebol tanpa perbaikan," ujar Olan Sahayu.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: STuEB meminta PLTU batu bara dihentikan dan beralih ke energi bersih