Jakarta (ANTARA) - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai kepercayaan publik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menurun akibat dampak buruknya seleksi pimpinan KPK periode 2019-2023 dan adanya revisi Undang-Undang (UU) KPK.
"Tingkat kepercayaan publik pada KPK menurun drastis berdasarkan survei awal 2020. Alvara Research Center melaporkan KPK hanya menempati posisi lima lembaga negara yang dipercayai. Survei terbaru Indo Barometer menyebutkan tingkat kepercayaan publik terhadap KPK berada di nomor empat kalah dari TNI dan Polri," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa.
Padahal pada 2016-2018, lanjut dia, berdasarkan survei nasional yang dilakukan tiga lembaga berbeda, yakni Polling Centre, CSIS, dan Lembaga Survei Indonesia (LSI), tingkat kepercayaan publik terhadap KPK berada di peringkat pertama bahkan mengalahkan kepercayaan publik terhadap Presiden.
Menurut dia, survei terbaru di atas menggambarkan situasi pemberantasan korupsi yang semakin memburuk dan menipisnya harapan masyarakat Indonesia terhadap KPK.
"Tidak dapat dipungkiri situasi terkini KPK banyak mengalami perubahan. Hal itu dipicu setidaknya dua hal. Pertama, seleksi pimpinan KPK yang buruk membuat pimpinan KPK terpilih sarat kontroversi," kata Kurnia.
Catatan ICW selama proses pemilihan Pimpinan KPK pada 2019 mengungkap temuan krusial, di antaranya pansel yang mengabaikan aspek integritas dan rekam jejak para calon.
"Hasilnya, lima Pimpinan KPK yang terpilih memiliki banyak catatan, mulai dari diduga melanggar kode etik maupun rendahnya kepatuhan dalam LHKPN. Belum lagi keterkaitan pimpinan KPK dengan kasus korupsi yang saat itu tengah disidik KPK," ujar dia.
Kedua, ucap Kurnia, Undang-Undang KPK yang dalam proses penyusunannya menjelaskan kepada publik berbagai manuver dan kejanggalan yang ditunjukkan DPR dan pemerintah/Presiden.
"Sebagai contoh, UU KPK yang sedari awal tidak masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2019 tiba-tiba diselundupkan demi mempercepat proses revisi dan pengesahan. Tak hanya itu, pada saat pengesahan di rapat paripurna DPR pun tidak memenuhi kuorum. Diduga hanya sekitar 80-90 anggota yang hadir dari total 560 anggota DPR RI," ucap dia.
Tidak hanya berhenti pada proses formil pengesahan revisi UU KPK saja, kata Kurnia, niat untuk melemahkan KPK pun tercermin dari substansi revisi.
"ICW mencatat setidaknya ada 15 poin krusial dalam UU KPK baru. Mulai dari menggeser makna independensi KPK, pembentukan instrumen pengawasan yang keliru, kewenangan berlebih dari Dewan Pengawas, penerbitan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan, sampai pada alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara," ujar dia.
Ia pun mencontohkan beberapa saat setelah pimpinan KPK baru terpilih dan UU KPK baru disahkan, dampak buruknya langsung terlihat.
"Sebagai contoh, pertama pimpinan KPK gagal menjelaskan persoalan terkait rencana penyegelan kantor PDIP yang batal. Kedua, pimpinan KPK gagal melindungi tim KPK yang sedang mencari Harun Masiku di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK)," kata Kurnia.
Ketiga, pimpinan KPK bertindak semena-mena terhadap penyidik KPK Kompol Rossa Purbo Bekti dan terakhir, pimpinan KPK memainkan politik "gimmick" seperti menjadi koki nasi goreng.
"Perlu dicatat, menurunnya citra positif KPK dalam pandangan masyarakat tidak bisa dilepaskan dari rendahnya komitmen antikorupsi dari Presiden dan DPR. Sebab, baik proses pemilihan pimpinan KPK maupun pengesahan revisi UU KPK merupakan produk politik yang dihasilkan oleh Presiden bersama dengan DPR," tuturnya.
Berkaca dari hal itu, ICW menuntut agar Presiden Joko Widodo segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan UU KPK baru.
"Demi menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi di masa mendatang dan membangun kembali kredibilitas KPK sebagai badan antikorupsi yang selama ini disegani," kata dia.
Dalih yang selama ini diucapkan oleh Presiden bahwa Perppu tidak relevan karena UU KPK sedang diuji di Mahkamah Konstitusi (MK) pun sebenarnya sangat mungkin diperdebatkan.
"Sebab, Perppu merupakan hak subjektivitas dari Presiden yang tidak terkait sama sekali dengan proses uji materi. Justru, dengan penerbitan Perppu diyakini akan mempercepat proses pemulihan KPK dari kerusakan akibat revisi UU KPK," ujar Kurnia.