Kupang (ANTARA) - Lora Tapatap Selly (52) seorang ibu rumah tangga yang seorang sendiri membesarkan lima orang anaknya menangis tersedu-sedu ketika menceritakan kisah dan perjuangannya agar tiga dari lima orang anaknya tetap sekolah di tengah pandemi COVID-19 walaupun dengan sistem daring atau online.
Kehidupannya sangat memprihatinkan karena tinggal di sebuah rumah kecil yang dibangun berkat bantuan dari sumbangan orang-orang gereja di daerah itu.
Setelah suaminya meninggal pada tahun 2011 karena sakit, ia berusaha menafkahi lima orang anaknya dan tetap menabung sedikit untuk sekolah anaknya dengan cara tetap membuka lapak kecil di Pelabuhan Tenau Kupang dan berjualan makanan ringan, air mineral dan lainnya.
Terkadang dua orang anaknya yang sudah tamat SMA, sering membantu dirinya untuk berjualan di pelabuhan itu jika adik-adiknya sudah kembali dari sekolah.
Lora mengaku dalam sehari ia hanya mampu mendapatkan keuntungan sebesar Rp50 ribu-Rp100 ribu. Namun, apa yang diperolehnya itu tergantung pada ramainya pembeli di lokasi pelabuhan itu, yakni jika ada kapal penumpang yang masuk.
Ia bersyukur karena saat ini dari lima orang anak-anaknya itu, dua diantaranya sudah menyelesaikan sekolahnya di bangku SMA sebelum adanya pandemi COVID-19 ini.
Sementara tiga lainnya masih di bangku sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP) dan satu lagi di sekolah menengah atas (SMA). Dari tiga orang anaknya itu, hanya satu yang diwajibkan melaksanakan sistem belajar daring dengan cara menggunakan aplikasi zoom meeting yang membutuhkan kuota internet yang tak sedikit.
Pinjam gawai
Anaknya pun terkadang harus meminjam gawai temannya atau tetangganya dan mengisi pulsa kuota internet sehingga bisa mengikuti proses belajar daring, jika tak ingin dianggap tak masuk oleh pihak sekolah.
"Dalam sekali sekolah daring saya hanya mampu membeli paket kuota internet sebanyak Rp25 ribu saja. Tetapi ternyata kata anak saya itu kurang sehingga saya harus mengutang terlebih dahulu kepada teman jualan saya yang kebetulan berjualan pulsa, sehingga total dalam satu kali sekolah daring saya harus mengocek uang senilai Rp50 ribu," cerita dia.
Sementara dalam sehari penghasilan yang diperoleh dari hasil jualan di pelabuhan itu hanya berkisar dari Rp50 ribu hingga Rp100 ribu, tergantung banyaknya pembeli.
Lora menghapus air mata yang sudah mulai menetes ketika ia menceritakan kisahnya. Ia berusaha menyembunyikan kesedihannya di hadapan kedua anaknya yang duduk tak jauh dari tempat ia duduk.
Lora mengaku dirinya memang mendapatkan bantuan dari program keluarga harapan dari pemerintah senilai Rp300 ribu per bulan. Namun, semuanya itu tak cukup untuk menghidupi keluarganya, karena sudah pasti akan digunakan untuk membeli pulsa listrik dan air bersih karena memang lokasi sekitar tempat ia tinggal tak ada air yang bisa mengalir.
"Saya berusaha menabung untuk bisa membeli handphone buat anak saya tetapi dana bantuan itu juga tidak cukup. Saya hanya bisa berdoa agar Tuhan bisa membantu saya," katanya sampai menghela nafas.
Bripka Sebastian
Doa Lora sepertinya didengarkan oleh Tuhan. Saat ia sedang sedang berpikir dan kebingungan muncul seorang anggota Polisi yang bertugas di Direktorat Kepolisian Perairan Polda NTT bernama Bripka Sebastian L yang tinggal tak jauh dari rumah Lora dan memberikan satu unit handphone android kepada anaknya.
Lora menarik napas dalam-dalam lalu terdiam sejenak. Air matanya kembali mengalir tetapi ia tetap berusaha secepatnya menyekanya agar tak dilihat oleh anaknya.
Sebastian adalah seorang anggota Polisi Perairan di Polda NTT yang rumahnya tak jauh dari rumah Lora. Saat ia mengetahui kondisi keluarga dari Lora ia berusaha menyisihkan berasnya untuk dibagikan ke Lora dan anak-anaknya.
"Dari situlah saya tahu bahwa anaknya tak bisa sekolah lagi dan sudah absen dua hari karena tak bisa sekolah daring. Saya kemudian mencari sumbangan di kantor dan berhasil mengumpulkan uang cukup untuk membeli satu unit handphone," ceritanya.
Tak hanya itu Sebastian dan teman-temannya akan terus mengumpulkan uang agar bisa membeli paket data internet agar anak-anak dari Lora itu bisa belajar secara daring.
'Saya juga akan memasang internet, jadi anak-anak dari keluarga tak mampu juga bisa belajar bersama-sama di rumah saya nanti. Mungkin dalam pekan ini karena memang saat ini baru tiangnya saja yang dipasang oleh pihak Telkomsel," ucap dia.
Kondisi yang sama juga dialami oleh Yusrina Nenotek (51). Yusrina terpaksa harus menjual sejumlah kain tenunnya kepada tetangganya agar anak-anaknya bisa sekolah daring dari rumah.
"Memang pandemi COVID-19 ini dampaknya sangat terlihat sekali. Mimpi saya hanya satu yakni agar anak-anak saya bisa jadi orang sukses ke depannya," katanya.
Jual kelapa muda
Yusrina adalah seorang janda yang sudah ditinggal suaminya karena meninggal dua tahun lalu karena sakit. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, dia dan anak-anaknya ia terpaksa mengelola salah satu kios yang menjual minyak tanah.
"Jadi ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hasil penjualan saya bagi dua dengan saudara saya," tutur dia.
Yusrina mempunyai dua orang anak, yang satu masih di bangku sekolah menengah pertama dan satu lagi sudah berada di bangku kuliah. Selama masa pandemi COVID-19 ia menghabiskan uang tabungannya sebesar Rp50.000 hingga Rp70.000 per anak.
"Terkadang sepekan, empat kali harus sekolah daring. Lebih baik sekolah biasa saja, toh hanya perlu keluarkan uang Rp20 ribu untuk angkutan umum agar anak-anak bisa sekolah dan kuliah," kata dia.
Yusrina memenuhi kebutuhannya dengan berjualan kelapa muda di kios kecilnya dan dalam sebulan keuntungan yang peroleh bisa mencapai Rp500 ribu tetapi kata dia terkadang hanya mencapai Rp200 ribu saja.
Dia pun berharap kondisi seperti ini bisa segera berakhir sehingga dirinya tak terlalu susah lagi seperti saat ini.*
Kisah Lora yang tak mampu sekolahkan anak via daring dari rumah
Selasa, 4 Agustus 2020 9:09 WIB 14252