Jakarta (ANTARA) - Seorang perempuan paruh baya berjalan tergesa menapaki tebing perbukitan terjal. Raut wajahnya murung penuh kebingungan, sambil menenteng berkas yang dibungkus kantong plastik.
Tampak kepalanya terus mendongak menatap langit seolah sudah hapal pada tanah basah berbatu yang menjadi tumpuan kaki dengan sandal jepit yang nyaris putus itu.
Warga setempat memanggilnya dengan sapaan Amma Mar. Siang itu, dia baru saja bertandang memenuhi panggilan kepala desa di kantornya.
Setelah sekitar 20 menit berjalan hingga dahi berkeringat, tibalah ia pada sebuah gubuk kayu tambal sulam beratap daun rumbia yang berada tepat di punggung bukit berkemiringan lebih kurang 50 derajat.
Gubuk yang tertambat pada pohon kelapa dan dikelilingi rimbun pohon Kakao muda tersebut ternyata adalah rumah bagi sang Amma -- Ibu dalam bahasa Mandar -- ini.
“Ya, di sinilah rumah saya, tempat berlindung yang kami punya,” kata perempuan bernama lengkap Marni (43), warga Desa Batetangnga, Kecamatan Binuang, Polewali Mandar, Sulawesi Barat ini.
Tanpa canggung perempuan berkerudung ini mengaku setelah ditinggal pergi suami dan resmi bercerai dua setengah tahun lalu, ia tak punya pilihan lain selain pulang ke kampungnya meski harus tinggal di gubuk dekat hutan yang jauh dari pemukiman warga desa setempat.
Sebelumnya dia tinggal ikut suami menempati rumah sederhana belasan tahun silam di Desa Bambaloka, Kecamatan Baras, Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat. Setelah resmi bercerai sempat ia mencoba bertahan menjadi buruh harian di Baras, tapi bayang romantisme masa lalu yang kandas selalu menghantui batinnya.
Hingga pada awal Agustus 2021, Marni membulatkan tekad membawa Abdul, Mira, dan Fadly -- nama ketiga anaknya-- pulang ke Batetangnga. Dengan ongkos seadanya mereka mesti estafet naik turun kendaraan untuk tiba di Binuang dengan beberapa kardus berisi pakaian.
Butuh waktu 10-12 jam melintasi Jalan Poros Majene-Mamuju dan beberapa kali naik turun mobil, kemudian harus dilanjutkan menumpang ojek motor ke kampungnya di ujung perbukitan Desa Batetangnga.
Saat itu pula kehidupan anak-anak Marni berubah drastis. Jangankan bersekolah, untuk waktu tidur nyenyak di rumah yang layak dan bermain seperti anak-anak pada umumnya pun mereka tak punya.
Putra sulungnya, Abdul (14), mesti bekerja di sebuah peternakan ayam untuk membantu perekonomian keluarga. Dalam satu bulan mendapatkan upah Rp500 ribu.
Begitupun Mira Wati (12) yang mesti membantu kerja apa saja mulai dari menjual cabai sisa panen di ladang saudaranya hingga membantu petik dan semai biji Kakao dengan upah Rp200 ribu – Rp300 ribu per bulan.