Bengkulu (ANTARA) - Bertepatan dengan pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi Iklim atau COP ke-26 di Glasgow, Skotlandia, jejaring Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STUEB) bersama Watchdoc meluncurkan film dokumenter terbaru secara terbatas berjudul "Bara Dwipa' yang menceritakan tentang dampak nyata yang dialami oleh masyarakat Sumatera akibat pengembangan industri fosil batu bara.
Lewat film dokumenter tersebut masyarakat dan aktivis di Sumatera menyerukan pesan penting untuk mengingatkan buruknya dampak proyek batu bara yang sudah berdiri dan tengah direncanakan oleh Presiden RI Joko Widodo.
Meskipun saat ini cadangan daya listrik di Sumatera mencapai 4.263 Mega Watt (MW) dari 25 unit PLTU yang telah beroperasi dan dengan kapasitas tersebut, surplus pasokan listrik sudah mencapai 55 persen.
Namun pemerintah masih bersikeras membangun 22 unit Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) baru dengan total kapasitas 6.789 MW yang dimana mayoritas PLTU tersebut teridentifikasi didukung oleh institusi-institusi keuangan asal negara Tiongkok.
Konsolidator STUEB, Ali Akbar menyebutkan bahwa peluncuran film dokumenter ini sekaligus menjadi puncak dari serangkaian kegiatan aksi damai mengawal COP ke-26 yang telah dilakukan di berbagai daerah di Pulau Sumatera, Indonesia.
Dengan mengirim pesan "Menolak Punah" untuk mengingatkan para pemimpin dunia terutama Presiden Indonesia agar serius menangani dampak krisis iklim yang semakin parah terjadi di berbagai belahan dunia dengan meninggalkan kecanduan terhadap batubara.
“Jokowi terus bicara krisis iklim di forum global dan sangat percaya diri mengklaim bahwa pemerintahannya serius dalam mitigasi perubahan iklim. Namun, yang dilakukan Jokowi di dalam negeri justru sebaliknya. Jokowi dan pemerintahannya terus membangun pembangkit energi kotor yang hanya akan memperburuk iklim global dan mengancam keselamatan warganya sendiri," kata Ali di Bengkulu, Rabu.
Masyarakat di sekitar PLTU batu bara menurut dia telah lama menderita akibat pembakaran batu bara. Abu dan debu batu bara telah menjadi makanan sehari-hari yang membuat paru-paru mereka lebih cepat rusak serta menyebabkan kerusakan terhadap sumber mata pencaharian warga baik di pertanian maupun di pesisir pantai.
Ia menambahkan bahwa hingga saat ini Presiden Joko Widodo tidak memiliki komitmen serius dan tindakan nyata dalam upaya penanganan dampak krisis iklim seperti menciptakan paket kebijakan seperti UU Minerba dan UU Cipta Kerja, justru terus memberi karpet merah bagi industri energi kotor batubara.
Juru bicara #BersihkanIndonesia dari Trend Asia, Ahmad Ashov Birry mengatakan bahwa Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar, menyatakan bahwa pembangunan besar-besaran yang dilakukan oleh presiden tidak boleh berhenti atas nama deforestasi atau atas nama emisi karbon.
"Pola pembangunan yang dilakukan terus memicu ketimpangan yang berakar pada kerusakan lingkungan, dan tidak mampu melindungi hak dasar seluruh masyarakat Indonesia. Para oligarki ekstraktif tambang dan batubara terus menikmati paradigma pemerintah selama ini terutama kini di Sumatera," ujarnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Yayasan Srikandi Lestari, Sumiati Surbakti bahwa pembakaran batubara nyata sebagai bahan pencemar berat dan kontributor emisi global penyebab pemanasan global serta ekitar 44 persen emisi karbon itu merupakan sumbangan dari pembakaran batubara.
"Kami meminta pemerintah Indonesia untuk tidak mempermainkan masyarakat global tentang komitmen iklim dan segera ambil tindakan nyata untuk menghentikan pembangunan PLTU baru di Indonesia terutama di Sumatera," jelasnya.
Untuk diketahui, pemerintah Indonesia menyatakan akan berhenti membangun PLTU pada 2030,namun faktanya di Pulau Sumatera, pemerintah berencana membangun 22 PLTU baru dengan total kapasitas mendekati 7 GW sampai tahun 2028.
Status proyek-proyek PLTU ini bervariasi yaitu 3 unit dengan total kapasitas 2000 MW dalam status konstruksi, dan 19 unit dengan total kapasitas 4790 MW berstatus pra-konstruksi.
Dengan perhitungan masa beroperasi PLTU hingga 20-30 tahun ke depan, maka dapat dipastikan PLTU-PLTU baru ini akan jauh melewati tenggat komitmen penghentian pembangunan pada 2030 serta akan membuat Indonesia secara otomatis tidak dapat mencapai target sesuai Perjanjian Paris.
