Kota Bengkulu (ANTARA) - Tim penyidik Tindak Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu menyita aset milik salah satu tersangka kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Tol Bengkulu–Taba Penanjung, Hartanto.
Aset yang disita berupa tanah dan bangunan milik Hartanto yang berlokasi di Kelurahan Jalan Gedang, Kota Bengkulu. Hartanto diketahui berprofesi sebagai pengacara.
“Kami melakukan penyitaan rumah pribadi milik salah satu tersangka dalam pengembangan kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Tol Bengkulu–Taba Penanjung,” kata Kepala Seksi Penyidikan Kejati Bengkulu Danang Prasetyo di Kota Bengkulu, Selasa.
Ia mengatakan penyitaan dilakukan berdasarkan surat perintah penyitaan Kepala Kejati Bengkulu serta surat penetapan Pengadilan Negeri Bengkulu. Penyidik juga memasang tanda penyitaan sebagai penanda bahwa aset tersebut berada dalam pengawasan Kejati Bengkulu.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, Hartanto merupakan kuasa hukum dari sembilan warga terdampak pembangunan tol dengan total anggaran pembebasan lahan mencapai Rp15 miliar. Dari sembilan warga tersebut, penyidik menemukan adanya aliran dana yang masuk ke tersangka.
Sebelumnya, penyidik Pidsus Kejati Bengkulu telah menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kasus pembebasan lahan tol periode 2019–2020, yakni mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bengkulu Tengah Hazairin Masrie, mantan Kepala Bidang Pengukuran BPN Bengkulu Tengah Ahadiya Seftiana, pengacara Hartanto, serta pimpinan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) Toto Suharto.
Keempat tersangka ditetapkan berdasarkan kecukupan alat bukti dan diduga bertanggung jawab atas terjadinya tindak pidana korupsi dalam proses pembebasan lahan Tol Bengkulu–Taba Penanjung.
Penyidik menemukan adanya ketidaksesuaian dalam perhitungan ganti rugi tanam tumbuh yang mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp4 miliar.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
