Jakarta (ANTARA) - Indonesia dapat mengajukan diri sebagai mediator konflik Rusia dan Ukraina, kata peneliti hubungan internasional di Center for Strategic and International Studies (CSIS) Gilang Kembara.
“Indonesia memiliki hubungan yang erat dengan Rusia dan juga Ukraina, terutama pada sektor pertahanan,” ujar Gilang dalam sebuah webinar di Jakarta, Rabu.
Dalam konflik Rusia-Ukraina, Indonesia dapat mengirimkan bantuan kemanusiaan bagi warga Ukraina.
Indonesia bisa “menyerukan pernyataan gencatan senjata, dan berharap agar kedua belah pihak dapat menyelesaikan konflik secara diplomatis”, kata Gilang.
Ia mengatakan Indonesia tidak memiliki hubungan formal dengan Rusia dan Ukraina sebelum Uni Soviet pecah pada 1991.
Hubungan Indonesia dan Rusia, lanjut dia, lebih berlandaskan aspek-aspek nostalgia berdasarkan kedekatan Presiden Soekarno dengan Uni Soviet.
Hal yang sama tidak ditemukan atau tidak terlihat dalam hubungan Indonesia dengan Ukraina, katanya.
Konflik Rusia-Ukraina terjadi karena Presiden Rusia Vladimir Putin khawatir Ukraina bergabung ke Uni Eropa dan aliansi pertahanan NATO, kata Gilang.
Jika Ukraina bergabung dengan kedua blok itu, maka Rusia akan dilingkari oleh negara-negara NATO tanpa sebuah negara penyangga (buffer state), kata dia.
Bagi Putin, kehilangan Ukraina dalam hubungan Rusia dengan negara-negara eks-Uni Soviet merupakan pukulan terbesar.
Ukraina secara budaya dianggap seperti saudara sebangsa sendiri bagi Rusia dan juga Belarus.
Ada keinginan Rusia untuk memulihkan kembali pengaruh dan wilayah Rusia, bukan seperti masa Uni Soviet, tetapi masa Kekaisaran Rusia, kata Gilang.