Jakarta (ANTARA) - Di antara semua atlet Rusia yang kecewa negaranya diboikot dalam turnamen olahraga internasional adalah petenis Anastasia Pavlyuchenkova yang paling terang-terangan menentang invasi Rusia di Ukraina dan terbuka mengkritik rezim Presiden Vladimir Putin.
"Saya tak takut mengutarakan secara terbuka pendapat saya. Saya menentang perang dan kekerasan. Ambisi pribadi atau motif politik tak bisa menjustifikasi kekerasan. Ini tak saja merenggut masa depan kita, tetapi juga anak-anak kita," kata Pavlyuchenkova dalam laman eurosport.com.
Kemudian, sehari sebelum ditundukkan petenis Ukraina Elina Svitolina dalam turnamen Monterrey Open, petenis putri Rusia lainnya, Anastasia Potapova, mengeluarkan pesan antiperang. Svitolina sendiri aktif mengampanyekan boikot atlet Rusia dan Belarus dari event olahraga internasional.
Potapova menyebut dirinya dan atlet-atlet Rusia menjadi sandera oleh situasi yang diciptakan oleh perang yang dilancarkan Vladimir Putin.
Atlet-atlet itu pantas kecewa dan marah karena boikot olahraga kini tak hanya melarang Rusia dan Belarus dijadikan venue turnamen olahraga, tapi sudah berubah menjadi mengasingkan atlet Rusia dan Belarus dari semua event olahraga, sampai bertanding dalam status netral kini tak dibolehkan.
Dunia olahraga memang sudah menutup pintu untuk atlet kedua negara, sampai China yang kerap bisa menjinakkan badan-badan olahraga dunia saja tak kuasa mencegah Komite Paralimpiade Internasional (IPC) melarang Paralimpiade Musim Dingin Beijing 2022 diikuti oleh paralimpian Belarus dan Ukraina.
Beberapa jam sebelum vonis IPC itu, badan utama gerakan Paralimpiade internasional itu masih membolehkan atlet Rusia dan Belarus mengikuti Paralimpiade Beijing dalam status netral tanpa bendera dan lagu kebangsaan.
IPC sempat tak memasalahkan keikutsertaan atlet Rusia dan Belarus dalam Paralimpiade Beijing karena beranggapan situasinya akan sama dengan Olimpiade Tokyo 2020 dan Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022 ketika atlet-atlet Rusia bertanding dalam status netral akibat sanksi atas skandal doping bersponsor negara.
Namun setelah atlet-atlet dari negara-negara yang menentang invasi Rusia di Ukraina mengancam menolak berkompetisi dalam nomor apa pun di mana ada atlet Rusia dan Belarus, IPC berubah pikiran. Atlet Rusia dan Belarus pun dilarang mengikuti Paralimpiade 2022.
Langkah IPC sendiri adalah keterusan dari langkah yang sudah ditempuh Komite Olimpiade Internasional (IOC) yang meminta federasi-federasi olahraga dunia melarang Rusia dan Belarus mengikuti event olahraga apa pun.
Chelsea pun dijual
Permintaan IOC itu sendiri segera ditanggapi badan-badan olahraga dunia. FIFA misalnya, sampai melarang Rusia mengikuti Piala Dunia Qatar 2022, sedangkan badan bulutangkis dunia BWF menutup semua pintu kompetisi bulu tangkis termasuk turnamen bergengsi All England dimasuki atlet-atlet Rusia dan Belarus.
Kini, badan-badan olahraga dunia baik dalam naungan IOC maupun yang berinduk ke IPC serempak melarang atlet Rusia dan Belarus, termasuk tenis.
Itu artinya petenis petenis top Rusia seperti Anastasia Pavlyuchenkova, Daniil Medvedev yang petenis nomor 1 dunia, dan nomor 6 dunia Andrey Rublev, terancam dikeluarkan dari kalender kompetisi tenis, termasuk French Open, Wimbledon dan US Open yang bergengsi itu. Juga petenis-petenis Belarus, termasuk petenis putri nomor tiga dunia, Aryna Sabalenka.
Tak hanya atlet, sejumlah pemilik klub atau tim olahraga dan sponsor olahraga asal Rusia juga diboikot oleh Eropa, antara lain miliarder Roman Abramovich yang terpaksa menjual klub Liga Inggris, Chelsea.
Abramovich tak terang-terangan mendesak perdamaian seperti disampaikan banyak atlet Rusia, namun dari caranya meninggalkan Chelsea, dia terlihat merasa tersandera oleh manuver politik Putin.
Salah satu indikasinya terlihat saat dia tak mengeluhkan kebijakan Inggris yang menjatuhkan sanksi kepada orang-orang seperti dirinya yang merupakan oligarki yang berasosiasi dengan Putin. Sebaliknya dia terlihat terpaksa meninggalkan The Blues sampai menyatakan tak akan meminta utang Chelsea kepada dirinya dibayar.
Putrinya, Sofia Abramovich, lebih terang-terangan dari bapaknya. Dalam akun Instagram-nya dia menulis pesan "Rusia ingin perang dengan Ukraina", tapi sebelum kata "Rusia" ada kata "Putin", dan kata "Rusia" sendiri dicoretnya dengan garis merah.
Sejumlah pengusaha Rusia yang juga berbisnis di luar negeri, termasuk yang aktif mensponsori olahraga, juga meminta Putin menghentikan perang. Ini termasuk taipan aluminium Oleg Deripaska, pendiri Alfa Bank Mikhail Fridman dan bankir Oleg Tinkov.
Bahkan pengusaha Anatoly Chubais yang mengarsiteki program swastanisasi Rusia pada 1990-an memasang foto tokoh oposisi terkenal yang ditembak mati dekat Kremlin pada 2015, Boris Nemtsov. Sekalipun tanpa caption, pesan Chubais itu implisit menentang kebijakan perang di Ukraina.
Pun demikian dengan orang terkaya Rusia yang total kekayaannya mencapai Rp418,7 triliun, Alexei Mordashov. Dia mendesak Putin menghentikan apa yang disebutnya "pertumpahan darah", sembari menyatakan tak tahan melihat orang Rusia dan Ukraina mati akibat perang, serta menyaksikan kehidupan rakyat Rusia kian sulit oleh ekonomi yang menjurus ambruk.
Mengingat para pengusaha Rusia itu mungkin tak akan bangkrut karena sanksi walau kekayaannya terpangkas, dampak sanksi terhadap mereka mungkin tak akan membuat Putin menghentikan perang, paling tidak untuk waktu dekat ini.
Rusak citra Putin
Tapi tidak seperti sanksi politik dan ekonomi, mengasingkan Rusia dari olahraga dunia bisa merusak citra Vladimir Putin secara pribadi.
Ini karena Putin sangat menyukai olahraga dan kompetisi yang menjadi inti dari citra nasionalisnya yang macho. Dan itu terekam dari rangkaian meme yang memperlihatkan Putin bermain hoki es, gulat, dan menunggang kuda dengan bertelanjang dada.
Maka itu, dengan mengecualikan Rusia dari arena olahraga, maka badan-badan olahraga internasional tak hanya menghalangi Putin menggunakan platform propaganda pentingnya, namun juga menggerus citra kekuatan dirinya.
Tak heran, keputusan Federasi Judo Internasional mencabut status Putin sebagai presiden kehormatan badan olahraga ini, dan juga sabuk hitam kehormatannya, adalah hantaman terhadap citra Putin secara pribadi.
Sejumlah kalangan menilai kepedulian kepada citra kuat melalui olahraga itu menjadi salah satu faktor penting di balik invasi Ukraina, karena dia ingin menegaskan kembali kuasa dan status Rusia sebagai kekuatan global.
Rusia sendiri bertahun-tahun mencurahkan waktu dan uang guna memastikan atlet dan tim olahraga negeri itu bisa memproyeksikan citra kuat dan hebat Rusia kepada dunia.
Sampai-sampai itu dilakukan dengan melanggar aturan internasional dengan cara mensponsori doping besar-besaran yang membuat atlet-atletnya tak bisa tampil membawa panji Rusia seperti terjadi pada Olimpiade Tokyo 2020 dan Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022.
Kini panggung olahraga telah ditutup rapat-rapat oleh badan-badan olahraga dunia baik yang berinduk kepada IOC maupun kepada IPC. Spektrum akibatnya bisa lebih sekadar mencapai Putin sebagai pribadi, tapi juga masyarakat biasa Rusia.
Jika rakyat Rusia sudah tak bisa lagi menikmati event budaya dan olahraga kesukaannya termasuk menonton timnasnya dalam Piala Dunia FIFA, maka rakyat Rusia bisa berbalik tak lagi mau menoleransi kebijakan Putin.
Buktinya, semakin banyak saja bintang olahraga Rusia, dan juga musisi serta seniman terkemuka negara itu, menentang agresi Rusia di Ukraina.
Dampak boikot olahraga terhadap Rusia
Jumat, 4 Maret 2022 14:31 WIB 781