Para petani di Kecamatan Malin Deman Kabupaten Mukomuko Provinsi Bengkulu mendesak pemerintah segera menuntaskan konflik agraria antara petani dengan perusahaan perkebunan skala besar PT Bina Bumi Sejahtera (BBS) yang diklaim PT Daria Dharma Pratama (DDP) karena kerap menempatkan para petani pada pihak yang melanggar hukum.
"Sudah puluhan petani yang dilaporkan oleh pihak perusahaan PT DDP sebagai pencuri sawit padahal tanaman itu mereka tanam sendiri di atas lahan yang ditelantarkan perusahaan," kata Saman Lating, kuasa hukum dua orang petani Mukomuko yang kembali mendapat panggilan karena dinilai menguasai dan menduduki lahan perkebunan PT DDP.
Padahal kata Lating, hingga kini, perusahaan PT DDP tidak mampu menunjukkan legalitas dalam melakukan aktivitas usaha perkebunan kelapa sawit di atas lahan HGU PT BBS yang telah ditelantarkan sejak 1997.
"Kami tanyakan kepada penyidik, karena ini hukum pidana ada yang merasa dirugikan, ada yang melapor. Kalau PT DDP yang melaporkan mereka harus menunjukkan legalitasnya," kata Saman Lating, Sabtu.
Dua orang petani Darmin dan Suharto kembali mendapatkan surat permintaan klarifikasi atas kisruh penguasaan lahan HGU PT BBS yang terlantar dari Kepolisian Resor Mukomuko.
Keduanya dimintai keterangan sehubungan dengan adanya kegiatan yang secara tidak sah menggunakan, menguasai, mengerjakan dana atau menduduki lahan usaha perkebunan serta memanen dan atau memungut hasil perkebunan di dalam lokasi HGU PT BBS area 1 divisi 6 Blok T 16.
Darmin menyatakan, panggilan polisi yang berulang terhadap dirinya menunjukkan bahwa tidak ada niat baik berbagai pihak untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapinya dan ratusan petani lainnya di atas bekas HGU PT.BBS.
“Perlu saya tegaskan, sejak tahun 2014 pihak perusahaan telah menyatakan bahwa lahan yang saya garap dan kuasai tersebut tidak boleh digarap oleh perusahaan PT DDP,” kata Darmin saat memenuhi panggilan di Polres Mukomuko, Jumat.
Sementara Suharto menyatakan tanah yang digarapnya adalah tanah yang tidak produktif karena ditelantarkan oleh perusahaan yang telah mendapatkan izin berupa HGU. Penelantaran lahan adalah perbuatan yang merugikan negara dan seharusnya negara melakukan evaluasi dan mencabut HGU yang sudah terlantar tersebut.
“Saya merawat lahan tersebut karena tidak ada yang merawat dan selama saya merawat tidak ada pihak yang berkeberatan. Sampai dengan adanya pengakuan secara sepihak oleh PT DDP,” kata Suharto.
Lating mengatakan pihaknya sempat berdebat dengan penyidik Kepolisian Resor Mukomuko terkait konflik pengusahaan lahan HGU PT BBS dan keterangan mereka ada akta jual beli dari PT BBS ke DDP.
"Yang kita pertanyakan akta jual beli itu terkait apa saja karena syarat melaksanakan aktivitas perkebunan harus ada izin prinsip, izin lokasi, izin usaha perkebunan, dan HGU, tetapi mereka tidak bisa menunjukkan, kita harus tahu legalitas itu," ujarnya.
Ia menyatakan, polisi memang punya hak menerima laporan dari siapa saja, tetapi mereka juga harus melihat yang melapor ini pemilik sah atau tidak.
Selanjutnya, ia mendorong penyidik polisi untuk mengetahui terlebih dahulu legalitas PT DDP sebelum mereka melakukan proses hukum terhadap petani. Jangan-jangan kata dia, justru pihak perusahaan yang menyerobot lahan masyarakat.
"Kalau DDP menanam sawit tahun sekitar tahun 2008-2009, sementara mereka melakukan transaksi jual beli diatas 2010 berarti mereka menanam sawit di lahan yang bukan milik mereka," ujarnya.
Lebih lanjut, ia mendorong penyidik Kepolisian Resor Mukomuko untuk lebih profesional menangani masalah konflik lahan antara petani dan perusahaan perkebunan itu.
***2***
"Sudah puluhan petani yang dilaporkan oleh pihak perusahaan PT DDP sebagai pencuri sawit padahal tanaman itu mereka tanam sendiri di atas lahan yang ditelantarkan perusahaan," kata Saman Lating, kuasa hukum dua orang petani Mukomuko yang kembali mendapat panggilan karena dinilai menguasai dan menduduki lahan perkebunan PT DDP.
Padahal kata Lating, hingga kini, perusahaan PT DDP tidak mampu menunjukkan legalitas dalam melakukan aktivitas usaha perkebunan kelapa sawit di atas lahan HGU PT BBS yang telah ditelantarkan sejak 1997.
"Kami tanyakan kepada penyidik, karena ini hukum pidana ada yang merasa dirugikan, ada yang melapor. Kalau PT DDP yang melaporkan mereka harus menunjukkan legalitasnya," kata Saman Lating, Sabtu.
Dua orang petani Darmin dan Suharto kembali mendapatkan surat permintaan klarifikasi atas kisruh penguasaan lahan HGU PT BBS yang terlantar dari Kepolisian Resor Mukomuko.
Keduanya dimintai keterangan sehubungan dengan adanya kegiatan yang secara tidak sah menggunakan, menguasai, mengerjakan dana atau menduduki lahan usaha perkebunan serta memanen dan atau memungut hasil perkebunan di dalam lokasi HGU PT BBS area 1 divisi 6 Blok T 16.
Darmin menyatakan, panggilan polisi yang berulang terhadap dirinya menunjukkan bahwa tidak ada niat baik berbagai pihak untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapinya dan ratusan petani lainnya di atas bekas HGU PT.BBS.
“Perlu saya tegaskan, sejak tahun 2014 pihak perusahaan telah menyatakan bahwa lahan yang saya garap dan kuasai tersebut tidak boleh digarap oleh perusahaan PT DDP,” kata Darmin saat memenuhi panggilan di Polres Mukomuko, Jumat.
Sementara Suharto menyatakan tanah yang digarapnya adalah tanah yang tidak produktif karena ditelantarkan oleh perusahaan yang telah mendapatkan izin berupa HGU. Penelantaran lahan adalah perbuatan yang merugikan negara dan seharusnya negara melakukan evaluasi dan mencabut HGU yang sudah terlantar tersebut.
“Saya merawat lahan tersebut karena tidak ada yang merawat dan selama saya merawat tidak ada pihak yang berkeberatan. Sampai dengan adanya pengakuan secara sepihak oleh PT DDP,” kata Suharto.
Lating mengatakan pihaknya sempat berdebat dengan penyidik Kepolisian Resor Mukomuko terkait konflik pengusahaan lahan HGU PT BBS dan keterangan mereka ada akta jual beli dari PT BBS ke DDP.
"Yang kita pertanyakan akta jual beli itu terkait apa saja karena syarat melaksanakan aktivitas perkebunan harus ada izin prinsip, izin lokasi, izin usaha perkebunan, dan HGU, tetapi mereka tidak bisa menunjukkan, kita harus tahu legalitas itu," ujarnya.
Ia menyatakan, polisi memang punya hak menerima laporan dari siapa saja, tetapi mereka juga harus melihat yang melapor ini pemilik sah atau tidak.
Selanjutnya, ia mendorong penyidik polisi untuk mengetahui terlebih dahulu legalitas PT DDP sebelum mereka melakukan proses hukum terhadap petani. Jangan-jangan kata dia, justru pihak perusahaan yang menyerobot lahan masyarakat.
"Kalau DDP menanam sawit tahun sekitar tahun 2008-2009, sementara mereka melakukan transaksi jual beli diatas 2010 berarti mereka menanam sawit di lahan yang bukan milik mereka," ujarnya.
Lebih lanjut, ia mendorong penyidik Kepolisian Resor Mukomuko untuk lebih profesional menangani masalah konflik lahan antara petani dan perusahaan perkebunan itu.
***2***