Pakar hukum tata negara Hibnu Nugroho menyampaikan penerapan keadilan restoratif di Tanah Air hanya dapat dilakukan terhadap tindak pidana kategori ringan sehingga tidak dapat diterapkan pada pidana berat, seperti kasus yang menjerat Mario Dandy Satriyo (MDS).
"(Kasus penganiayaan yang melibatkan tersangka MDS) Hukumannya berat, perencanaan (penganiayaan direncanakan) lagi,” ujar Hibnu dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu.
Dengan demikian, ia pun menilai keputusan Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk tidak menerapkan keadilan restoratif pada kasus penganiayaan itu sudah tepat, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kejagung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif.
“Sudah tepat itu karena kalau diterapkan justru akan menyalahi peraturan Kejaksaan Agung,” ucapnya.
Sebagaimana dimuat dalam Pasal 5 Peraturan Kejagung Nomor 15 Tahun 2020, salah satu syarat penerapan keadilan restoratif adalah tindak pidana terkait terancam pidana tidak lebih dari lima tahun.
Hal serupa, tambah Hibnu, juga berlaku untuk tersangka lainnya yakni AG yang masih berada dalam usia anak-anak. Jeratan ancaman pidana berat, kata dia, menutup kemungkinan AG berkesempatan memperoleh keadilan restoratif.
“Sementara AG sendiri, dijerat dengan pasal penganiayaan berat yang ancaman hukumannya di atas tujuh tahun,” ujar dia.
Hibnu pun menekankan dalam kasus penganiayaan yang dilakukan MDS dan AG, perkara tersebut adalah tindak pidana penganiayaan berat sehingga sulit untuk diterapkan keadilan restoratif karena menyalahi peraturan Kejaksaan.
Hibnu menambahkan meskipun keluarga korban dimungkinkan untuk menempuh jalan damai, negara belum tentu akan menerima hal tersebut.
"Kalau pun pihak keluarga korban menerima, negara pun belum tentu bisa menerima,” ujar dia.