Seperti tersangka FH yang mengaku pernah menjadi korban tindak pidana asusila, justru setelah dewasa mengulangi perbuatan tersebut kepada anak-anak lainnya.
Brigjen Pol. Adi Vivid A Bactiar mengimbau kepada orang tua agar kejadian ini betul-betul menjadi perhatian. Modus yang dilakukan para pelaku dengan mencari waktu-waktu sepi, yang artinya tidak ada orang lain. Dan patut dicurigai, bukan hanya orang yang tidak dikenal tetapi juga orang yang dikenal dekat.
Karena, pelaku orang yang dikenal akan mudah untuk menghasut atau mengiming-imingi anak untuk mau mengikuti keinginan pelaku. Berbeda jika pelaku orang yang tidak dikenal, akan ada penolakan dari sang anak. “Kalau sudah kenal, hati-hati perlu dilakukan pengawasan dari anak-anak kita,” imbau Vivid.
Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kawiyan, mengapresiasi respons cepat kepolisian yang melakukan penangkapan dan penahanan terhadap para tersangka, karena jika tidak cepat ditindak bakal banyak korban anak yang berjatuhan.
Langkah selanjutnya dengan adanya kasus tersebut adalah memberikan pendampingan dan perlindungan psikologis kepada anak-anak yang menjadi korban praktik kejahatan seksual. Anak-anak yang menjadi korban tersebut akan mengalami trauma, sehingga perlu ditangani oleh pihak-pihak terkait, dalam hal ini dinas sosial, dan instansi lainnya.
Pendampingan psikologis ini diperlukan, agar anak-anak yang mengalami kekerasan seksual melalui digital, melalui gambar-gambar pornografis jangan sampai terbersit di hatinya untuk melakukan hal yang sama.
Namun dari kesemua itu, yang terpenting adalah bagaimana keluarga, orang tua agar selalu mewaspadai, mendampingi dan membersamai anak-anaknya dalam menggunakan ponsel dan bermedia sosial agar terhindar dari hal-hal yang bersifat pornografi.
Di era digital ini anak-anak mudah untuk mengakses informasi, konten-konten termasuk di dalamnya konten asusila, pornografi dan sebagainya. Oleh karena itu, pendampingan orang tua sekaligus pemberian pendidikan yang tepat kepada anak, sangat penting dilakukan.