Jakarta (ANTARA) - Perwakilan korban penipuan daring kerja paruh waktu mendatangi Bareskrim Polri mengharapkan laporan yang mereka layangkan di sejumlah polres dan polda mendapat atensi dari kepolisian.
Tria, koordinator korban penipuan daring kerja paruh waktu, ditemui di Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis, menuturkan bahwa setiap hari korban terus bertambah jumlahnya, bahkan hingga saat ini tercatat hampir 1.000 korban yang mengadu kepada pihaknya dengan total kerugian seluruh korban sebesar Rp35,4 miliar.
"Saya adalah Tria, sebagai perwakilan dari pada korban penipuan online berkedok paruh waktu (part time) di salah satu platform atau ecommerce," kata Tria.
Tria juga salah satu korban penipuan tersebut. Dia kehilangan uang puluhan juta karena tergiur bekerja paruh waktu dengan memberikan tanda suka atau like di platform ecommerce (perdagangan elektronik).
Menurut dia, korban mulai bermunculan sejak 2021, masif jumlahnya pada tahun 2023. Situasi pandemi COVID-19, membuat perekonomian sejumlah warga yang menjadi korban tidak stabil sehingga membutuhkan penghasilan tambahan.
Lowongan pekerjaan paruh waktu diperoleh lewat iklan di media sosial. Korban tidak hanya berasal dari 'kaum rebahan', tetapi menyentuh semua kalangan.
Bahkan, tidak hanya di wilayah Indonesia (Sulawesi Selatan, DIY, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Utara, Jawa Timur, Banten, Kalimantan Timur, Jakarta Barat, dan DKI Jakarta), tetapi juga luar negeri seperti Jepang, Korea dan Australia.
"Korbannya beragam, mulai dari tukang ojek daring, ASN, teller bank, dokter, ibu rumah tangga, hingga artis pekerja FTV. Bahkan, ada yang menyetorkan Rp1,5 miliar uang pensiunan," kata Tria.
Selaku koordinator, Tria prihatin dengan kondisi korban, bahkan ada beberapa yang terlilit pinjaman online. Salah satu korban seorang tukang ojek daring menyetorkan uang sampai Rp300 juta demi bisa mendapatkan komisi dari tugas-tugas yang telah dijalaninya.
"Padahal, itu uang untuk biaya haji ibunya," kata Tria.
Beberapa korban, kata dia, ada yang hampir mencoba bunuh diri, bahkan seorang ibu rumah tangga rugi ratusan juta rupiah saat anaknya sedang dirawat di ICU.
"Modus operandi mereka itu menawarkan kerja paruh waktu, pekerjaannya menaikkan ratting penjualan salah satu ecommerce," katanya.
Menurut dia, para korban tertarik dengan pekerjaan tersebut karena di awal menerima komisi. Bila top-up Rp 100 ribu, komisi didapatkan Rp110 ribu. Uang ditransfer atas nama perusahaan, commanditaire vennootschap (CV) atau perseroan terbatas (PT).
Selain itu, pelaku yang diduga sindikat juga mengatasnamakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk meyakinkan para korban. Padahal, OJK sebagai pemantau tidak pernah memberikan tugas kepada perusahaan yang melakukan transaksi keuangan.
Dalam menjalankan tugas tersebut, ada level top-up mulai dari yang terendah Rp100 ribu hingga jutaan rupiah. Korban mulai merasa ditipu setelah uang komisi yang mereka peroleh dari hasil top-up tidak bisa dicairkan.
"Di situlah minimnya pengetahuan masyarakat atau korban-korban di sini," ujar Tria.
Para korban lantas melaporkan kasus itu ke polres dan polda di wilayah masing-masing, salah satunya di Polda Metro Jaya.
Laporan tersebut telah diterima oleh Polda Metro Jaya. Namun, korban ingin agar kepolisian memberikan atensi terhadap laporan tersebut agar segera menindaklanjuti kasus tersebut.
"Kedatangan kami ke Bareskrim Polri ini supaya laporan seluruh korban ini segera ditindaklanjuti karena jumlah korban terus bertambah," kata Tria.