Dalam sejumlah literasi, semisal buku berjudul Shame: Theory, Therapy, Theology tulisan Stephen Pattison dan juga Shame: Exposed Self karya Michael Lewis, disebutkan bahwa malu identik dengan perasaan yang dialami Hawa di Surga ketika ia melanggar perintah Tuhan untuk tidak memakan buah khuldi. Pada saat itu, dikisahkan Hawa merasa malu karena dia sadar bahwa dirinya telanjang setelah melakukan perbuatan dosa, yaitu memakan buah khuldi yang dilarang oleh Tuhan.
Menukil laman resmi UIN Sunan Gunung Djati (SGD), Iu Rusliana, dosen Fakultas Ushuluddin (FU) pada perguruan tinggi negeri itu mengingatkan pentingnya memupuk dan menghiasi diri dengan rasa malu. Berusaha sekuat tenaga menghindari perbuatan tercela, dan berupaya menebar kebaikan.
Menurutnya, seseorang yang senantiasa memelihara dan menjaga rasa malu akan berhati-hati, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Juga selalu mempertimbangkan baik buruknya sesuatu dan berpikir sebelum bertindak.
“Perasaan malu selalu mendatangkan kebaikan,” kata Iu.
Dia pun memberikan sederet bukti bahwa rasa malu dan bersalah itu sudah menipis atau mungkin hilang, seperti maraknya korupsi, praktik kebohongan yang diproduksi dan dipublikasikan ke ruang media. Pun ramainya kasus kriminal, ada orang tua menghamili anaknya, anak membunuh orang tuanya, prostitusi online, pencurian, perampokan, pemerkosaan dan kejahatan lainnya merupakan contoh dari hilangnya rasa malu.
Pengertian malu (al-hayâ’) secara harfiah berarti menahan diri dari melakukan sesuatu dengan alasan takut akan celaan dari orang lain. Malu adalah salah satu akhlak terpuji yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan buruk dan menahan dirinya dari merampas hak orang lain.
Dalam agama (Islam) sifat malu ini terbagi dalam tiga macam, yakni:
1. Malu kepada Tuhan. Sifat malu paling berkelas karena berbasis keimanan. Pedoman yang digunakan adalah kitab suci atau dalam Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Indikasinya adalah benar-salah, halal-haram, perintah atau larangan agama. Manusia akan merasa malu bila melanggarnya, dengan atau tanpa dilihat manusia, karena urusannya langsung kepada Tuhan.
2. Malu kepada diri sendiri. Rasa malu yang ini berbasis hati nurani, berlandaskan naluri. Pada dasarnya setiap manusia diciptakan dengan perangkat naluri yang baik, dan ia akan merasa malu ketika berbuat sesuatu yang melawan nurani. Malu pada kategori ini menggunakan indikasi baik-buruk. Orang yang melakukan hal buruk akan dihantui rasa malu pada diri sendiri.
3. Malu kepada sesama. Malu yang didasarkan pada pranata sosial, dengan indikasi kepantasan, yakni tentang pantas atau tidak pantas suatu perbuatan dilakukan. Jenis malu yang kali ini mudah dilanggar karena asal tidak ketahuan orang lain, seseorang tidak akan merasa malu untuk melakukan perbuatan yang tidak pantas.
Yang pantas malu
Banyak terhampar contoh perbuatan memalukan namun tidak menjadikan pelakunya sebagai penyandang rasa malu. Perilaku memalukan itu melibatkan berbagai kalangan mulai pejabat pemerintah hingga anggota masyarakat. Berikut sejumlah contoh, yang diklasifikasikan berdasarkan subyek pelakunya.