JAKARTA (ANTARA) - Rasa malu, salah satu sifat manusia yang belakangan ini memudar, bahkan terancam sirna. Bukan isapan jempol belaka, tetapi tingginya angka korupsi, viralnya kasus-kasus asusila, atau sengitnya adu flexing di media sosial, cukuplah menjadi bukti bahaya punahnya rasa malu.
Pembangunan SDM, salah satunya bisa dilakukan dengan memupuk rasa malu agar tak banyak warga negara yang menjadi benalu, minim kontribusi dan malah menggerogoti negeri dengan aksi korupsi.
Selama memerintah hampir dua periode, Presiden Joko Widodo seringkali mengungkapkan rasa malunya atas kinerja para jajaran yang mengecewakan. Dalam beberapa kesempatan berbeda, Presiden terekam mengucapkan kata malu itu berkaitan dengan gaya kerja lama layanan keimigrasian. Dia juga geram dan malu dengan banyaknya kepala daerah yang terlibat korupsi, sementara kepala daerah yang lain tak mampu mengendalikan inflasi.
Hal lain yang membuat kepala negara malu dengan pihak luar adalah masalah kabut asap yang berulang dan berlarut-larut, serta sejumlah BUMN yang tidak merespons ketika Jokowi telah membukakan pintu kerja sama dengan negara lain.
Seandainya budaya malu diterapkan dalam kehidupan bernegara, mungkin Presiden tak perlu semalu itu menghadapi kenyataan bahwa kinerja para anak buahnya berkualitas rendah.
Tentang rasa malu
Hilangnya rasa malu menyumbang andil besar dalam kerusakan tatanan sosial hingga negara. Karena rasa malu merupakan benteng bagi seseorang untuk tidak berbuat menyimpang. Tetapi karena benteng itu telah rapuh sehingga banyak penyimpangan terjadi tanpa timbulnya rasa malu bagi pelakunya.