Para perempuan garda depan untuk Indonesia merdeka dari stunting
Selasa, 15 Agustus 2023 7:41 WIB 1504
Namun, mereka merasa bahwa masih ada beberapa permasalahan yang dihadapi, misalnya, ketika harus pergi ke Labuan Bajo untuk mengambil obat dan vaksin, yang membutuhkan biaya tidak sedikit.
“Kita kan pakai perahu, perahunya tidak langsung pulang. Jadi, kami harus bermalam dulu. Kalau bermalam, kita butuh biaya banyak dari penginapan dan makannya karena tidak ada perahu untuk pulang-pergi. Kalau ada pun, itu terlalu mahal untuk kami biayanya,” ujar Faiza.
“Kita kan pakai perahu, perahunya tidak langsung pulang. Jadi, kami harus bermalam dulu. Kalau bermalam, kita butuh biaya banyak dari penginapan dan makannya karena tidak ada perahu untuk pulang-pergi. Kalau ada pun, itu terlalu mahal untuk kami biayanya,” ujar Faiza.
Ketika harus merujuk pasien, mereka juga tidak bisa langsung pulang dan harus bermalam di sana. Labuan Bajo yang kini sudah ditetapkan sebagai destinasi pariwisata super-premium, membuat biaya hidup semakin mahal sehingga gaji sebagai seorang bidan pun rasanya masih kurang apabila harus sering pergi pulang terus-menerus.
Mereka mendapatkan transportasi Rp200-Rp300 ribu untuk pergi ke Labuan Bajo, meski jumlahnya masih jauh dari kata cukup karena biaya menginap dan makan tidak bisa ditanggung sehingga mereka mesti merogoh kocek pribadi.
Adapun Dana Desa sudah tidak dapat diotak-atik lagi karena untuk memenuhi kelas ibu, bayi dan balita, juga ibu-ibu hamil.
Keikhlasan dan ketulusan adalah dua hal yang dipegang oleh Fifi dan Faiza ketika mengabdi untuk masyarakat di Pulau Komodo.
Di dalam ruangan puskesmas pembantu yang luasnya mungkin tidak sampai 200 meter persegi, mereka merawat ibu-ibu hamil yang dulu lebih percaya kepada dukun beranak daripada bidan.
Setelah bertahun-tahun berjuang, akhirnya kini masyarakat Pulau Komodo sudah tak ada lagi yang melahirkan dengan bantuan dukun beranak.
“Ada yang kejang, keracunan, tetapi dibilang kerasukan setan. Saya bilang, ini itu karena tensinya tinggi, di tubuhnya masih ada racun. Itu pun mereka masih rundingan di rumah, mau dibiarkan saja atau bagaimana? Saya tegaskan, nanti pasti kejang lagi, ternyata betul kan kejang lagi. Akhirnya setelah itu mau dibawa ke Puskesmas Labuan Bajo, malam-malam kita menyeberang laut,” kenang Fifi.
Rasa peduli yang melebihi segalanya, dedikasi untuk terus mengedukasi agar tak ada lagi ibu hamil yang menderita preeklamsia, atau ibu yang menderita komplikasi kehamilan yang berpotensi berbahaya dan ditandai dengan tekanan darah tinggi, terus dilakukan hingga kini sudah semua ibu di Pulau Komodo mau melahirkan di puskesmas pembantu, tak ada lagi yang melahirkan di rumah.
Dengan semua sarana yang sudah tersedia, mulai air yang mengalir dengan lancar, untuk memenuhi kebun-kebun sayur yang bekerja sama dengan balai taman nasional, seharusnya sudah cukup untuk menopang masyarakat dari segi gizi.
Namun, Fifi dan Faiza melihat tantangan terbesar yang mereka hadapi kini masih pada bagaimana mengedukasi masyarakat untuk paham tentang pentingnya gizi yang cukup bagi keluarganya, mengingat masyarakat Pulau Komodo masih memilih cara yang mudah untuk memberi makan anak-anaknya, misalnya, dengan memberikan mi instan, atau makanan ringan dengan kandungan bumbu-bumbu tambahan yang tinggi.
“Di sini lebih ke kemauan ibu, untuk mengubah perilaku, memang saya harus kerja lebih keras lagi dengan Kakak Faiza,” tutur Fifi.
Pentingnya memberi dukungan perempuan
Fifi dan Faiza hanyalah dua dari sekian banyak bidan perempuan di daerah terluar yang hingga kini masih berjuang keras melawan keterbatasan, baik dari segi geografis maupun ekonomi, dengan mengesampingkannya demi kepedulian sosial pada lingkungannya.