Tidak perlu heran jika dalam 10 atau 20 tahun ke depan bangsa kita tidak terbiasa lagi menggunakan kata "kamu" karena berganti dan kita terlalu sering menggunakan sebutan "you" atau "antum".
Selain mewariskan masalah keajekan bagi anak cucu, pengabaian terhadap dampak mengambil kata asing dengan seenaknya juga akan mewariskan masalah bagi orang asing yang ingin menguasai Bahasa Indonesia.
Warga asing yang telah bersusah payah belajar Bahasa Indonesia akan kesulitan mencerna apa maksud dari kalimat yang kita susun dalam model gado-gado dengan bahasa asing.
Belum ada kecenderungan anak milenial saat begitu mudah membuat pelesetan satu maksud dalam satu kata baru. Karena berlandaskan kesepakatan, seolah-olah kata tersebut sudah menjadi bagian dari diksi Bahasa Indonesia.
Oleh karena itu, mereka yang kata-kata atau kalimatnya sering menjadi perhatian masyarakat umum, termasuk mungkin menjadi panutan, harus memelopori sikap berhati-hati dalam menggunakan Bahasa Indonesia.
Mereka adalah pejabat pemerintah di semua tingkatan, para guru yang setiap ucapannya akan ditiru oleh murid-murid, wartawan yang setiap karyanya dalam bentuk berita juga dijadikan panduan oleh pembacanya.
Masyarakat berpendidikan tinggi juga wajib menunjukkan kepedulian ini, bahkan memelopori, seperti kalangan mahasiswa dan para dosen.
Kaum yang kesehariannya berhubungan langsung dengan masalah bahasa, misalnya, penulis, juga tidak luput dari tanggung jawab ini.
Kebiasaan merasa kurang keren jika di setiap kalimat tidak menyelipkan kata asing sudah waktunya ditinggalkan. Mari pegang kuat-kuat bahwa tidak mencampuradukkan kata asing dalam kalimat kita justru lebih keren.
Produk-produk kebijakan atau program dari Pemerintah juga sudah selayaknya jika melibatkan pihak yang mengerti tentang Bahasa Indonesia. Apalagi jika program atau kebijakan itu kelak akan menjadi nama, yang secara kaedah bahasa tidak boleh diubah seenaknya. Misalnya, kebijakan mengenai stunting, mengapa tidak menggunakan kata kerdil, kekerdilan, atau tengkes. Jika mau lebih panjang bisa menggunakan "gangguan pertumbuhan" atau "tumbuh lambat" atau "lambat tumbuh".
Memang terlihat lebih rumit ketika kita memilih menggunakan kata asli dibandingkan dengan mengambil dari bahasa asing. Demi menjaga martabat bahasa kita yang kini tengah berjalan menjadi bahasa internasional, memilih jalan sedikit sulit justru lebih mulia dari pada jalan pintas mencomot bahasa asing.
Menghadapi tahun politik pada 2024, mereka yang bertarung untuk merebut hati rakyat, mari gunakan Bahasa Indonesia dengan menjunjung tinggi martabat bahasa ini. Gunakan kesempatan mencari simpati rakyat untuk mendulang suara pemilih tidak dengan menggunakan bahasa seenaknya.
Martabat Bahasa Indonesia ada di kesadaran dan kepedulian bersama bangsa kita.